Karya Berbasis Lingkungan
Kesadaran tentang lingkungan harus ditanamkan sejak usia dini. Apalagi di tengah orientasi masa kini yang hanya mementingkan uang. Bibit-bibit itu sudah ada, tinggal bagaimana mengelolanya.
SATUHARAPAN.COM - Koran Nasional baru-baru ini memberitakan bahwa penelitian berorientasi lingkungan merajai kompetisi ilmiah dihelat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kegiatan penelitian berlangsung dalam rangka kompetisi ilmiah. Kompetisi ilmiah itu terbagi dua, yakni National Young Inventor Award (NYIA) dan Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR), (Kompas 28/09/2016).
Jumlah karya yang lolos NYIA sebanyak 29 temuan dan 53 karya ilmiah masuk dalam LKIR. Juri internasional Alan West dan Gerard Hughes terkesan dengan banyaknya penemuan atau pun karya ilmiah yang berorientasi pada lingkungan. West mengatakan bahwa animo generasi muda terhadap karya yang berbasis lingkungan sangat penting karena generasi mudalah yang akan membantu komunitas global mengatasi isu lingkungan. West menambahkan bahwa banyak solusi praktis dari penelitian ini.
Berita Kompas ini sangat membahagiakan saya selaku praktisi lingkungan. Sebab pengalaman saya di lapangan menunjukkan kendala kita di lapangan dan perdebatan di media sosial (medsos) adalah pikiran-pikiran masyarakat kita yang berorientasi uang. Segala sesuatu pekerjaan berorientasi uang. Kelayakan bisnis dilakukan dengan feasibility study dengan orientasi uang. Berapa untung (uang) yang dihasilkan dari proyek. Hampir dipastikan bahwa kerugian nilai lingkungan diabaikan.
Konsep berpikir inilah ancaman yang sangat serius bagi masa depan bangsa kita. Orientasi pertumbuhan ekonomi menjadi fokus utama dari Presiden/Wakil Presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, lurah/kepala desa, RW/RT dan umumnya masyarakat. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa para akademisi kita juga banyak yang terjebak dengan orientasi proyek. Dengan kata lain idealisme akademisi acapkali tergadai karena tujuan mendapatkan proyek. Tidak peduli dampak terhadap keadilan bagi manusia dan lingkungan. Kita juga memahami bahwa kurikulum di Perguruan Tinggi (PT) mendorong akademisi untuk berorientasi pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan angka-angka.
Kita patut bangga dengan Presiden Jokowi yang dikenal kejujuran dan integritasnya dan munculnya pemimpin-pemimpin di berbagai daerah seperti fenomena Ahok, Ridwan Kamil, Risma, Ganjar Pranowo dan lain sebagainy. Tetapi satu hal yang perlu disadarkan bahwa kebijakan-kebijakanya masih berorientasi pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, ketertarikan anak-anak remaja kita menghasilkan karya berbasis lingkungan sangat melegakan hati. Sikap generasi muda bangsa kita berkarya dengan basis lingkungan menjadi titik balik pembangunan. Inilah momentum bagi kita untuk mengubah paradigma pembagunan dari orientasi pertumbuhan ekonomi ke orientasi lingkungan.
Kita membutuhkan pemimpin yang memiliki integritas, kapabilitas yang mumpuni, kesederhanaan, keterbukaan dan berbagai syarat kepemimpinan dalam berbagai teori kepemimpinan. Tetapi satu hal yang kita lupakan bahwa pembangunan kita belum berbasis lingkungan. Kita harus menyadari bahwa kita tidak dapat hidup tanpa lingkungan. Akibat pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi maka ekonomi kit bertumbuh, alam rusak dan kesehatan masyarakat menurun. Dampak pembangunan terhadap kesehatan masyarakat masih diabaikan. Seolah-olah pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi jawaban untuk kesejahteraan. Kita lupa, tak ada gunannya uang ketika lingkungan kita terancam rusak parah. Pertimbangan lingkungan sejatinya yang utama, faktanya lingkungan menjadi variabel yang diabaikan.
Lingkungan dan konstitusi kita
Pemerintahan Jokowi/Jusuf Kalla fokus mempermudah izin usaha untuk memperlancar investasi. Pemerintah bangga dengan pemberian waktu yang dipangkas untuk memperoleh izin usaha. Ironisnya, percepatan untuk memperoleh izin tanpa pertimbangan dampak terhadap lingkungan. Pemerintah lupa bahwa lingkungan memiliki Daya Dukung (DD) dan Daya Tampung (DT) yang sangat amat terbatas. Jari-jari bumi atau diameter bumi kita tidak pernah bertambah. Luas bumi kita tidak akan pernah bertambah. Cepatnya memperoleh perizinan dianggap sebagai prestasi. Memperoleh izin secara cepat itu baik dengan syarat mutlak telah memperhitungkan Daya Dukung (DD) dan Daya Tampung (DT) lingkungan.
Diskusi-diskusi masyarakat di berbagai seminar, di kampus-kampus, di Medsos atau diberbagai kesempatan umumnya berorientasi pertumbuhan ekonomi. Kita lupa, pertumbuhan ekonomi akan berhenti di titik tertentu ketika DD dan DT Lingkungan tidak memadai. Bahkan, lingkungan akan berbalik marah dan menghentikan pertumbuhan ekonomi bahkan menelan jiwa umat manusia tanpa pilih bulu dan tidak mengenal waktu bersama harta miliknya dalam waktu sekejap. Banjir bandang, longsor, kekeringan yang berkelanjutan menjadi bukti nyata akibat kegiatan pembangunan yang mengabaikan lingkungan.
UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan (PPLH) sudah memastikan agar pembangunan berbasis lingkungan. UU No 32 Tahun 2009 Pasal 15 Ayat 1 menyebutkan: "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
Sistem perundangan kita yang tertuang dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) memerintahkan kita agar memastikan pembangunan sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan. Realitanya, dalam kasus reklamasi Jakarta, hampir tidak ada yang menyinggung KLHS dan menyelesaikan masalah dengan berpegang kepada UU Nomor 32 Tahun 2009. Sikap ini merupakan representasi pemimpin kita dalam rangka kasus-kasus lingkungan di seluruh Nusantara. Faktanya, hampir di semua daerah tidak memiliki KLHS. Padahal, KLHS mutlak menjadi acuan untuk membangun dan mengontrol pembangunan.
Perlu disadari bahwa pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan lingkungan hanyalah pertumbuhan sesaat. Pertumbuhan ekonomi hanyalah kesiaiaan ketika alam berbalik marah karena melebihi DD dan DT lingkungan. Melihat pembangunan kita yang masih jauh dari orientasi lingkungan, maka kita patut bersyukur dan belajar dari anak-anak remaja kita yang antusias melakukan penelitian yang berbasis lingkungan. Di era pemanasan global, anak-anak generasi muda kita harus didorong agar paradigma berpikir mereka berkarya dan bertindak berdasarkan lingkungannya.
Prestasi anak remaja kita ini merupakan momentum bagi kita agar anak-anak sejak dini diperkenalkan hidup yang berorientasi lingkungan. Prestasi anak-anak remaja kita memberikan kita pelajaran agar segala karya kita berorientasi lingkungan. Kita harus menyadari bahwa kita hidup karena ada lingkungan. Tidak mungkin kita hidup tanpa lingkungan yang sehat.
Penulis adalah praktisi lingkungan, alumnus pascasarjana IPB Bogor. Aktif di Yayasan Percepatan Pembangunan Kawasan Danau Toba (YP2KDT).
Editor : Trisno S Sutanto
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...