AI Desak Jokowi Penuhi Janji kepada Jutaan Korban Tragedi 1965
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Phak berwewenang Indonesia masih mengabaikan jutaan korban dan anggota keluarga mereka yang menderita oleh salah satu pembunuhan massal terburuk di zaman modern, kata Amnesty International (AI), dalam memperingati 50 tahun peristiwa Gerakan 30 September atau yang di Indonesia dikenal sebagai G 30 S PKI.
"Lima dekade terlalu lama untuk menunggu keadilan bagi salah satu pembunuhan massal terburuk era kita. Di seluruh Indonesia, korban peristiwa 1965 dan 1966 dan anggota keluarga mereka telah dibiarkan untuk berjuang sendiri, sementara mereka yang dicurigai harus mempertanggung jawabkan tidak pidana hidup bebas, " kata Papang Hidayat, Peneliti pada Amnesty International Indonesia, sebagaimana dilansir oleh laman resmi AI, hari ini Rabu (30/9).
"Pemerintah Indonesia harus mengakhiri ketidakadilan ini sekali dan untuk semua. Ulang tahun hari ini harus menjadi titik awal untuk era baru di mana kejahatan masa lalu tidak lagi disembunyikan di bawah karpet."
Menurut AI, dalam upaya kudeta yang gagal pada 30 September 1965, militer Indonesia - yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto - melancarkan serangan sistematis terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai Komunis dan berbagai gerakan kiri lainnya.
Menurut AI, selama dua tahun berikutnya, antara 500.000 dan satu juta orang tewas. Kekerasan seksual merajalela dengan perempuan yang tak terhitung jumlahnya diperkosa atau disimpan sebagai budak seksual. Ratusan ribu orang dipenjarakan tanpa pengadilan - bertahun-tahun yang dihabiskan di penjara, menderita penyiksaan biasa.
Menurut AI, upaya pemerintah Indonesia untuk mendapatkan kebenaran dari peristiwa ini dan memberikan korban dan anggota keluarga keadilan dan pemulihan nama baik, dianggap merupakan upaya yang terbaik.
Di Indonesia, akuntabilitas terhadap pengadilan kejahatan di bawah hukum internasional masih kurang. Masih sedikit kasus yang dibawa ke pengadilan dan mayoritas pelaku bebas.
Budaya diam telah berlaku di Indonesia dan membahas pembunuhan 50 tahun lalu itu dianggap mustahil oleh para korban.
Meskipun ruang dialog telah terbuka dalam beberapa tahun terakhir, korban terus menghadapi diskriminasi dalam hukum. Rapat internal atau acara-acara publik yang diselenggarakan oleh korban peristiwa 1965 sering dibubarkan oleh otoritas atau dirusak oleh kelompok yang main hakim sendiri. Sementara polisi tidak melakukan apa-apa untuk mencegah pelecehan.
Pada bulan Juli 2012, Komnas HAM menerbitkan sebuah laporan yang yang menemukan bukti kejahatan terhadap kemanusiaan oleh pasukan keamanan dan aktor non-negara pada peristiwa 1965.
Tetapi meskipun Komnas HAM telah mendesak Kejaksaan Agung untuk bertindak atas temuan itu untuk melakukan penyelidikan yudisial, sampai saat ini tidak ada yang terjadi. Sementara itu upaya untuk membentuk komisi kebenaran di tingkat nasional telah terhenti karena kurangnya kemauan politik.
Sejak menjabat pada bulan Oktober 2014, Presiden Joko Widodo telah berjanji untuk membuat hak asasi manusia sebagai prioritas dan untuk mengatasi kejahatan masa lalu.
Pada bulan Mei 2015, pemerintah mengumumkan mekanisme non-yudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk pembunuhan 1965. Tapi tanpa kekuatan untuk melakukan penuntutan, ada kekhawatiran yang sangat serius bahwa yang jadi prioritas adalah rekonsiliasi ketimbang keadilan dan kebenaran. Akibatnya, pelaku kejahatan akan bebas.
"Presiden Joko Widodo memiliki peluang emas untuk menggunakan mandatnya memastikan bahwa masa lalu tidak lagi dilupakan di Indonesia. Ini adalah negara yang dengan cepat melesat menjadi pemimpin regional --Indonesia harus mengambil posisi ini dengan serius dan memberi contoh dalam menjalankan keadilan, kebenaran dan pemulihan nama baik, " kata Papang Hidayat,
Editor : Eben E. Siadari
Kepala Militer HTS Suriah Akan Membubarkan Sayap Bersenjata
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Kepala militer "Hayat Tahrir al-Sham" (HTS) Suriah yang menang m...