Akar Kegagalan Perundingan Damai Suriah
SATUHARAPAN.COM – Penyelesaian damai untuk menghentikan perang saudara di Suriah tampaknya masih menghadapi jalan panjang. Perundingan secara tidak langsung intra Suriah yang dimediasi utusan PBB, Staffan de Mistura, di Jenewa, Swiss, pekan ini menemui jalan buntu, setelah pihak oposisi menyatakan tidak berpartisipasi secara formal.
Di sisi lain, kesepakatan gencatan senjata sejak 27 Februari tampaknya makin rapuh setelah para pihak mengklaim pihak lain melakukan serangan bersenjata. Dan perundingan pun terus dihadang masalah masa depan pemerintahan Presiden Bashar Al-Assad.
Oposisi dan negara-negara pendukungnya yang dipimpin Amerika Serikat menolak sepenuhnya keterlibatan Al-Assad pada pemerintahan transisi dan selanjutnya. Sementara pemerintah Suriah yang didukung Rusia dan Iran bersikukuh pada posisi pemerintah persatuan ke depan adalah perluasan dari pemerintahan sekarang.
Al-Assad Menguat?
Kelompok oposisi yang didukung Arab Saudi, Komisi Tinggi Negosiasi (HCN), menuduh lemahnya tekanan negara-negara pendukungnya terhadap rezim Al-Assad, sehingga nasib Al-Assad tidak masuk dalam perundingan itu.
Ada kecenderungan bahwa Al-Assad yang didukung Rusia dan Iran menguat, bahkan berani menyelenggarakan pemilihan umum parlemen pada 14 April lalu. Meski demikian pemilu itu dianggap sebagai lelucon oleh oposisi dan tidak diakui PBB.
Penguatan Al-Assad ini terutama setelah dibantu Rusia dengan serangan udara menggempur kelompok jihadis Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS atau ISIS) dan Front Al-Nusra yang berafiliasi pada Al-Qaeda. Wilayah yang bisa dikuasai oleh rezim terus meluas, sementara kelompok oposisi makin kurang terdengar dalam upaya menyingkirkan ISIS.
Di sisi lain, kelompok oposisi ini masih terpecah dengan berbagai kepentingannya, seperti kelompok Turkmen di Suriah yang didukung Turki, dan kelompok Kurdi yang mempunyai kepentingan bagi independensi bangsa ini yang terbelah di beberapa negara. Belum lagi banyak kelompok bersenjata yang berkepentingan mempertahankan diri, baik dari tekanan ISIS dan jihadis lain, maupun rezim.
Situasi ini menandai bahwa angin Musim Semi Arab di Suriah, tidak sekuat di negara lain yang mampu menumbangkan rezim. Bahkan situasi ini cenderung membuat rezim Al-Assad mengambil posisi yang lebih keras tentang nasib Al-Assad dan pendukungnya dalam proses penyelesaian politik bagi negara yang dilanda perang selama lima tahun lebih itu.
Penolakan Yang Masih Kuat
Perundingan Suriah kemungkinan masih menempuh jalan panjang dan sulit, karena masalah masih terfokus pada perebutan kekuasaan, dan menumbangkan pihak lain. Ini berarti proses tidak beranjak dari adu kekuatan. Tewasnya 270.000 orang, jutaan orang dengan nasib memprihatinkan di Suriah, dan jutaan lain mengungsi di negara tetangga tidak mendapatkan perhatian serius oleh para pihak yang berunding.
Masalah kekuasaan yang menyebabkan rezim masih berdiri pada posisi keterilabatan Al-Assad pada pemerintahan transisi dan oposisi menolak sepenuhnya. Sementara kelompok ISIS memiliki pandang yang lain lagi untuk wilayah itu.
Penolakan di antara pihak yang keras itu adalah hambatan utama, sehingga perundingan tidak akan menemui titik pijak yang sama. Sikap seperti ini hanya akan menunju penyelesaian pada yang satu mengalahkan yang lain. Jikapun dicapai situasi di mana rezim bisa ditumbangkan, Suriah tidak akan menemui kedamaian, karena rezim dan pendukungnya segera menjadi pemberontak. Posisi yang masih dipegang ini hanya akan menghasilkan pertukaran peran sebagai rezim dan pemberontak.
Petarung dan Dalang
Masalah lain yang membuat suram hari depan Suriah adalah para pihak intra Suriah sendiri hanyalah para petarung dalam perang proksi di negeri itu. Para dalang dan kelompok kepentingan masih sangat dominan dalam seluruh pertarungan dan pembicaraan.
Arab Saudi dan sekutu negara-negara Teluk mendukung oposisi adalah karena kepentingan menghadapi Iran yang merupakan rival regional mereka, dan yang dengan tegas di belakang rezim Al-Assad. Hal serupa juga terjadi pada AS yang mendukung oposisi dan berkepentingan menggulingkan Al-Assad dan pengaruh pendukungnya, Rusia.
Kepentingan masa depan rakyat Suriah sendiri masih lebih sebagai retorika dalam keprihatinan atas nasib kemanusiaan. Tetapi kepentingan terbesar rakyat Suriah nyaris diabaikan dalam mencari penyelesaian dan masa depan Suriah.
Arus pengungsi yang melampaui 60 juta jiwa dan terbesar sejak Perang Dunia II, dan terurtama didorong oleh perang di Suriah, memang merupakan tragedi kemanusiaan yang mengiris nurani. Namun kerasnya sikap para pihak dan pendukung dalam perang Suriah, yang membuat perundingan tidak mencapai hasil, adalah sumber tragedi itu.
Cara Merawat Kulit Bayi Menurut Dokter
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter spesialis kulit dari Rumah Sakit Polri Said Soekanto Jakarta memba...