Akhir Kudeta, Fiji dalam Perjalanan Menuju Demokrasi
FIJI, SATUHARAPAN.COM – Pemilih di Fiji untuk pertama kalinya akan melakukan pemungutan suara sejak dipimpin pemimpin militer Voreqe Bainimarama (Frank) yang telah menggulingkan pemerintah terpilih dalam kudeta delapan tahun lalu.
Bainimarama telah memerintah kantor-kantor sipil di negara kepulauan di bagian selatan samudera pasifik itu.
Fiji telah melakukan empat kali kudeta sejak 1987, sebagian besar didorong oleh ketegangan antara etnis pribumi Fiji dan etnis India yang terdapat sekitar 40 persen dari populasi. Bainimarama menggulingkan pemerintah Laisenia Qarase tahun 2006, atas tuduhan korupsi dan tidak adil terhadap etnis pribumi Fiji.
Sejak itu, internasional juga telah menyerukan agar segera diselenggarakan pemilu. Terlebih, Australia dan Selandia Baru memberikan sanksi untuk menekan pemerintah baru (yang dipimpin Bainimarama) untuk menyelenggarakan pemungutan suara. Fiji bahkan diskors dari kelompok negara Persemakmuran.
Pemungutan suara telah lama ditunggu-tunggu sebagai ujung tombak untuk kembali ke sistem demokrasi. Pemungutan suara pun disambut baik rakyat sipil di Fiji.
Ini akan menjadi pemilu pertama di Fiji, di mana kursi maupun daftar pemilih diselenggarakan tanpa memandang ras. Konstitusi baru dibuat di bawah Mr Bainimarama memberikan etnis India status yang sama seperti pribumi Fiji.
Bainimarama mengatakan dirinya ingin mengakhiri siklus kudeta dengan mengurangi ketegangan tersebut.
“Dia ingin membawa Fiji jauh dari itu politik ras, di bawah kepemimpinannya, setiap orang adalah Fiji,” kata peneliti masyarakat negara dan pemerintahan di Melanesia, dari Australian National University (ANU), Stewart Firth.
Nantinya akan ada sekitar 590.000 pemilih, dan 250 calon legislatif yang akan memperebutkan 50 kursi baru.
Bainimarama telah mengundurkan diri sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Fiji awal tahun 2014 ini, kemudian ia membentuk partai FijiFirst. Sementara ada enam partai lainnya yang juga memenuhi syarat untuk ambil bagian dalam pertarungan politik itu.
Pemilih akan memilih salah satu calon dengan menandai nomor kandidat di kertas suara.
Pemerintah di Fiji juga telah menyetujui kelompok pemantau untuk mengawasi pemungutan suara yang dipimpin oleh Australia, India, Indonesia dan Papua Nugini.
Dominasi dan Pemerintahan Anti Kritik
Namun, beberapa dari proses tersebut masih diragukan. Kebebasan pers juga sangat dibatasi sejak kudeta tahun 2006. Amnesty International menyatakan telah menemukan iklim dominasi dan ketakutan bahwa Fiji akan dibawa ke dalam undang-undang kejam dengan pola intimidasi dan pemerintahan anti kritik.
Pemerintah telah memberlakukan persyaratan ketat pada partai-partai oposisi, seperti memiliki minimal 5.000 anggota.
Beberapa kandidat yang pernah terlibat dalam politik sebelum kudeta 2006, yang telah menghabiskan waktu di luar negeri, tidak dapat berpartisipasi dalam pemilu ini karena persyaratan residensi. Pemerintah juga membatasi kampanye yang menerima dana dari luar Fiji.
Mantan pemimpin Fiji terdahulu, Mahendra Chaudry dan Laisenia Qarase tidak dapat berpartisipasi lagi karena proses peradilan.
Bainimarama dikatakan kemungkinan akan menang telak karena saat ini belum ada oposisi politik secara formal. Dan FijiFirst kemungkinan memenangkan jumlah suara terbanyak, meskipun belum jelas apakah itu akan menjadi suara mayoritas di parlemen atau tidak.
Oleh karena dominasi Bainimarama tersebut, pemungutan suara mungkin bebas, tetapi belum bisa disebut adil. (bbc.com)
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...