Loading...
HAM
Penulis: Aninda Cakrawarti 08:29 WIB | Selasa, 16 Juli 2024

Akibat Pembatasan Peran, Perempuan Afghanistan Gagal Jadi Dokter.

Frozan Ahmadzi bercita-cita jadi dokter, tapi terpaksan kini bekerja membuat acar, karena pembatasan peran perempuan oleh penguasa Afghanistan, Taliban.
Perempuan penjahit Afghanistan bekerja dengan alat jahit di Pusat Bisnis Perempuan Afghanistan di Kabul, Afghanistan, hari Selasa 2 Juli 2024. Setengah dari penduduk Afghanistan kini tidak memiliki kebebasan untuk bekerja meski perekonomian negara tersebut sedang buruk, dengan sedikitnya lapangan pekerjaan yang tersedia bagi perempuan di negara tersebut. (Foto: AP/Sidiqullah Alizai)

KABUL, SATUHARAPAN.COM-Frozan Ahmadzai adalah salah satu dari 200,000 perempuan Afghanistan yang memiliki izindari Taliban untuk bekerja. Dia seharusnya sudah lulus dari perkuliahan tahun ini dan mengejar cita-citanya sebagai dokter, tetapi Taliban melarang perempuan dengan pendidikan tinggi dan mengecualikan mereka dari banyak pekerjaan.

Alih-alih menjahit luka, ia kini menjahit pakaian di ruang bawah tanah di Kabul. Dan bukannya meracik obat, ia malah membuat acar.

Separuhdaripopulasi Afghanistan kinitidakmemilikikebebasanuntukbekerjameskiperekonomian negara merekasedang sangat buruk.

Hanya sedikit pekerjaan yang tersedia bagi para perempuan. Termasuk menjahit dan membuat makanan, yang saat ini dilakukan Ahmadzai di usianya yang ke-33 bersama dengan para perempuan lain yang dulunya adalah seorang guru atau bercita-cita untuk bekerja demikian.

Partisipasi tenaga kerja perempuan di Afghanistan, yang terbatas oleh kepercayaan budaya konservatif, hanya sebanyak 14.8% di 2021, sebelum Taliban merebut kekuasaan dan memberlakukan pembatasan ketat terhadap kaum perempuan. Termasuk melarang pendidikan di ataskelas 6 dan melarang kaum perempuan di ruang publik seperti taman, dan penerapan aturan berpakaian.

Partisipasi tenaga kerja perempuan menurun menjadi 4.8% di 2023, menurut World Bank Data.

Ahmadzai membara ketika membicarakan realita yang dihadapi kaum perempuan di Afghanistan. “Kami hanya mencari sebuah jalan untuk kabur,” katanya, merujuk pada kondisi bekerja di ruang bawah tanah. Setidaknya ini satu langkah lebih maju daripada hanya berdiam di rumah.

Namun keuntungan yang diperolehnya dan 50 orang rekannya secara kolektif sangat sedikit. Dalam bulan yang baik, bisnis pembuatan acar dan menjahit menghasilkan sekitar 30.000 afghani (Rp. 6.836.524).

Para perempuan juga memiliki keluhan yang serupa dengan orang lain di Afghanistan: harga sewa dan pajak sangat tinggi. Alat jahit mereka sudah terlalu tua, aliran listrik yang tidak menentu, pengecer lokal tidak memberikan kompensasi yang adil, mereka tidak mendapatkan dukungan dari bank atau pejabat setempat untuk membantu perkembangan bisnis mereka.

Bahkan untuk sekadar mendapatkan izin bekerja dari Taliban saja sudah cukup menantang bagi para perempuan, meskipun di bawah hukum ketenagakerjaan di Afghanistan, izin bekerja adalah sama untuk perempuan maupun laki-laki.

Kementerian yang bertanggungjawab dalam pemberian izin telah melarang perempuan memasuki kantornya, dan mendirikan kantor khusus perempuan di tempat lain. Alasannya untuk ‘mempercepat dan mempermudah keperluan’ bagi para perempuan, kata juru bicara Kementerian Tenaga Kerja dan Sosial, Samiullah Ebrahimi.

Di sana, para perempuan akan mengumpulkan dokumen mereka, di antaranya kartu identitas, surat lamaran kerja, dan surat sehat dari klinik setempat. Hal ini mengasumsikan bahwa mereka memiliki dokumen tersebut beserta uang yang diperlukan untuk mengurus berkas-berkas itu, dan berasumsi bahwa mereka dapat keluar secara leluasa tanpa dilecehkan jika tidak ditemani seorang laki-laki.

Tahun lalu, seorang petinggi di PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) mengatakan Afghanistan telah menjadi negara paling represif di dunia terhadap kaum perempuan. Roza Otunbayeva, kepala dari misi politik PBB di Afghanistan, mengatakan bahwa sementara negara itu perlu pemulihan setelah perang selama bertahun-tahun, separuh dari calon dokter, ilmuwan, jurnalis, dan politisi telah ‘terkurung di dalam rumah, dengan mimpi yang remuk dan bakat yang terbuang.’

Taliban memiliki pandangan yang berbeda. Mereka telah mencoba untuk menyediakan para perempuan dengan lingkungan pekerjaan yang ‘aman, terjamin, dan terpisah’ sejalan dengan nilai-nilai Islam dan tradisi Afghanistan pada bidang di mana pekerjaan tangan perempuan dibutuhkan, menurut juru bicara Ebrahimi. Mereka dapat sektor pemasaran perhotelan, tetapi di tempat yang dikhususkan bagi perempuan.

Ia mengatakan bahwa perempuan tidak memerlukan sarjana untuk hampir semua pekerjaan yang diizinkan, termasuk menjadi petugas kebersihan, pemeriksa keamanan, kerajinan tangan, pertanian, penjahit, atau pengolah makanan.

Hal ini sangat menyedihkan bagi Ahmadzai dan rekan-rekannya melihat bakat mereka terbengkalai. Beberapa dari mereka juga sudah terlatih untuk menjadi juru rias, tetapi salon kecantikan telah ditutup.

Beberapa pekerjaan yang tersisa untuk perempuan berada di bidang pendidikan dan kesehatan, sehingga Ahmadzai dipindah menjadi perawat dan kursus kebidanan sehingga ia bisa menjadi petugas medis, tetapi bukan dokter. Taliban tidak mau lebih banyak dokter perempuan.

Adalah sebuah tantangan bagi perempuan Afghanistan dalam mematuhi perintah Taliban sambil membantu menafkahi keluarga mereka, sementara kondisi kehidupan memburuk dan menimbulkan tekanan pada kesehatan, termasuk kesehatan mental.

Ahmadzai mengatakan bahwa beberapa sisi positif mengenai pekerjaannya di ruang bawah tanah di Kabul adalah persahabatan dan dukungan yang ia dapat dari rekan kerjanya.

“Perempuan Afghanistan saat ini memiliki peran yang sama di masyarakat. Mereka tinggal di rumah, merawat anak, mengurus rumah dan tidak bekerja keras,” katanya. “Jika keluarga saya tidak mendorong saya, saya tidak akan berada di sini. Mereka mendukung saya karena saya bekerja. Suami saya pengangguran dan saya memiliki anak yang masih kecil.”

Salma Yusufzai, Kepala Badan Perdagangan dan Industri untuk Perempuan Afghanistan, mengetahui bahwa bekerja di bawah peraturan Taliban adalah sebuah tantangan.

Badan ini memiliki 10,000 anggota, tetapi minim perwakilan kaum perempuan di bawaha dministrasi yang dikontrol Taliban.

Yusufzai mengatakan bahwa badan ini mendukung para perempuan dengan memberikan mereka ruang di pasar lokal dan menghubungkan mereka dengan komunitas internasional untuk berpartisipasi di pameran luar negeri dan kesempatan lainnya.

Anggota badan tersebut mengikutsertakan kunci dari industri Afghanistan seperti pembuatan karpet dan buah-buahan yang dikeringkan. Bisnisnya memang dimiliki oleh laki-laki, tetapi dihidupkan oleh tangan perempuan yang ingin membantu ekonomi, yang menurutnya dapat hancur tanpa campur tangan perempuan.

Ia menyadari bahwa pekerjaan yang terbatas dari badan tersebut hanya mungkin dilakukan melalui perjanjian dengan Taliban. “Jika saya menutup pintunya, maka tidak akan ada yang terjadi, tidak akan ada yang tersisa.”

Yusufzai dulu memiliki tiga bisnis batu permata dan meninggalkannya demi perannya di badan tersebut. Tetapi ia memang tidak akan dapat memiliki bisnis tersebut sepenuhnya di bawah peraturan Taliban, sehingga bisnis tersebut dibuat atas nama suaminya.

“Karena kita tinggal di negara ini, kita harus mengikuti peraturan yang ada,” katanya dengan senyum kaku. “Dari ketiadaan, lebih baik untuk tetap memiliki sesuatu.” (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home