Loading...
RELIGI
Penulis: Sabar Subekti 10:49 WIB | Jumat, 13 September 2024

Aktivis Kritik Mahalnya Biaya Kunjungan Paus Fransiskus ke Timor Timur

Negara yang dikenal sebagai salah satu yang termiskin ini mengeluarkan Rp 180 miliar untuk kunjungan Paus.
Seorang pria berdiri di dekat spanduk yang memperlihatkan Presiden Timor Leste, Jose Ramos-Horta, kiri, berjabat tangan dengan Paus Fransiskus, menjelang kunjungan Paus ke negara tersebut, di Dili, Sabtu, 7 September 2024. (Foto: AP/Dita Alangkara)

DILI, SATUHARAPAN.COM-Timor Timur mengerahkan segala upaya untuk kunjungan bersejarah Paus Fransiskus ke salah satu negara termuda dan termiskin di dunia dengan biaya sebesar US$12 juta (setara Rp 180 milyar), yang menuai kecaman dari para aktivis dan organisasi hak asasi manusia di negara yang hampir separuh penduduknya hidup dalam kemiskinan.

Biaya kunjungan dua hari yang dimulai hari Senin (9/9) telah disetujui oleh pemerintah melalui Dewan Menteri pada bulan Februari, termasuk US$1 juta untuk membangun altar bagi Misa kepausan.

Dinding-dinding masih dicat ulang dan spanduk serta papan reklame memenuhi jalan-jalan di ibu kota pesisir, Dili, untuk menyambut Paus, yang sebelumnya telah mengunjungi Indonesia dan Papua Nugini.

Sekitar 42% dari 1,3 juta penduduk Timor Timur hidup di bawah garis kemiskinan, menurut Program Pembangunan PBB. Pengangguran tinggi, kesempatan kerja di sektor formal umumnya terbatas dan sebagian besar penduduk adalah petani subsisten tanpa penghasilan tetap.

Anggaran negara untuk tahun 2023 adalah US$3,16 miliar. Pemerintah hanya mengalokasikan US$4,7 juta untuk meningkatkan produksi pangan, kata Marino Fereira, seorang peneliti di Institut Pemantauan dan Analisis Pembangunan Timor Leste. Ia mengatakan pengeluaran US$12 juta untuk kunjungan paus "terlalu berlebihan."

Badan non pemerintah, yang dikenal secara lokal sebagai Lao Hamutuk, telah menyerahkan beberapa dokumen kepada pemerintah dan parlemen yang meminta pemotongan pengeluaran untuk upacara dan memprioritaskan isu-isu yang memengaruhi masyarakat, kata Fereira.

"Pemerintah telah mengabaikan orang miskin di negara ini," katanya.

Timor Leste baru-baru ini menghadapi tantangan inflasi tinggi dan perubahan cuaca yang telah mengurangi produksi pangan, yang mendorong sekitar 364.000 orang, atau 27% dari populasi, mengalami kerawanan pangan akut dari Mei hingga September, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB.

Menteri Administrasi Negara Timor Leste, Tomas Cabral, yang mengepalai komite penyelenggara nasional untuk kunjungan Paus, mengatakan US$12 juta itu berlebihan tetapi juga digunakan untuk pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan jalan, renovasi gereja, dan fasilitas umum lainnya.

“Jangan bandingkan negara kita dengan negara tetangga yang memiliki fasilitas dan infrastruktur yang memadai untuk menyelenggarakan acara internasional atau tamu negara tingkat tinggi,” kata Cabral. ”Di sini, kita harus membangunnya dari awal.”

Cabral mengatakan bahwa sekitar US$1,2 juta telah dialokasikan untuk transportasi dan logistik orang-orang dari seluruh negeri untuk menyambut Paus dan menghadiri Misa pada hari Selasa (10/9).

Timor Leste memandang kunjungan tersebut sebagai kesempatan utama untuk menarik perhatian dunia pada negara kecil dengan jalan yang bergejolak menuju kemerdekaan. Ini adalah negara termuda di Asia yang 97% penduduknya beragama Katolik.

"Kunjungan Paus adalah yang terbesar, pemasaran terbaik yang dapat dilakukan siapa pun untuk mempromosikan negara ini, untuk menempatkan negara ini di peta pariwisata," kata Presiden Timor Leste, Jose Ramos-Horta, dalam sebuah wawancara dengan The Associated Press pekan lalu.

Puncak kunjungan Fransiskus adalah perayaan Ekaristi pada hari Selasa (10/9) di mana lebih dari 300.000 umat diperkirakan hadir, termasuk beberapa ribu orang yang tinggal di dekat perbatasan Timor Barat Indonesia, bagian barat pulau Timor.

Misa kepausan di Tasitolu, sebuah lapangan terbuka di pantai sekitar kilometer kilometer dari pusat kota Dili, juga menimbulkan ketidaksenangan. Pemerintah telah meratakan sekitar 185 keluarga dan menyita 23 hektare tanah untuk acara tersebut. Kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh pemerintah tidak menawarkan alternatif apa pun kepada keluarga miskin.

“Kehidupan keluarga-keluarga tersebut tidak menentu saat ini, mereka tidak tahu harus ke mana, karena mereka masih di sana menunggu ganti rugi,” kata Pedrito Vieira, koordinator Land Network, sebuah koalisi LSM yang mengadvokasi hak atas tanah. “Pengusiran tiba-tiba hanya akan membuat mereka tidak yakin untuk merencanakan hidup mereka.”

Cabral mengatakan mereka adalah para pemukim dan bukan pemilik tanah tradisional yang menempati tanah negara. Ia mengatakan mereka diberi pemberitahuan sebelumnya dan waktu untuk menyingkirkan bangunan mereka dan pindah.

“Ada pihak-pihak yang mempolitisasi situasi di sana sehingga para pemukim ilegal menolak pindah karena alasan yang tidak jelas,” kata Cabral.

Beberapa tindakan keras terhadap pedagang kaki lima yang dilakukan dengan alasan untuk menjaga ketertiban di Dili menjelang perjalanan Fransiskus juga menuai protes di kalangan aktivis hak asasi manusia.

Media sosial dibanjiri komentar marah setelah rekaman menunjukkan puluhan polisi berpakaian preman dengan tongkat, linggis, dan tombak menghancurkan kios dan barang dagangan pedagang di salah satu jalan yang akan dilalui rombongan Paus.

Suzana Cardoso, seorang jurnalis kawakan yang merekam insiden tersebut pekan lalu di daerah Fatuhada, Dili, mengatakan kepada The Associated Press bahwa ia menerima ancaman dalam upaya untuk menghentikannya membagikan video tersebut.

“Saya memiliki kewajiban moral sebagai jurnalis untuk menegakkan keadilan bagi mereka yang lemah dan miskin,” kata Cardoso, yang jugademikianlah yang meliput hari-hari tergelap negara itu ketika Indonesia menanggapi referendum Timor Timur yang didukung PBB untuk memperjuangkan kemerdekaan 25 tahun lalu dengan kampanye bumi hangus yang menggemparkan dunia. Sekitar 1.500 orang tewas, lebih dari 300.000 orang mengungsi dan lebih dari 80% infrastruktur Timor Timur hancur.

Ramos-Horta memerintahkan polisi dan pemerintah kota Dili untuk menangkap mereka yang berada di balik penghancuran kios pedagang dan memberi ganti rugi kepada para pedagang. “Pemerintah tidak pernah diperintahkan untuk melaksanakan ketertiban umum dengan kekerasan,” kata Ramos-Horta dalam sebuah konferensi pers.

“Pers yang bebas dan independen dilindungi oleh hukum di negara ini,” katanya. “Saya mengimbau semua lembaga untuk tidak menghalangi jurnalis dan menghormati kebebasan pers.” (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home