Aktivis Pakistan Dibunuh Setelah Selamati Sadiq Khan
ISLAMABAD, SATUHARAPAN.COM - Seorang aktivis Pakistan tewas hanya beberapa jam setelah menyampaikan ucapan selamat kepada Wali Kota London terpilih, Sadiq Khan, seorang Muslim berdarah Pakistan.
Ia meninggal dibunuh oleh orang bersenjata yang mengendarai sepeda motor di kota pelabuhan selatan Karachi, menurut polisi Pakistan, Mugaddas Haider.
Aktivis itu bernama Khurram Zaki, mantan wartawan,
Pria berusia 40 tahun ini menyunting sebuah blog yang diberi judul "Let Us Build Pakistan (LUBP) yang mengaku "menyebarkan pandangan keagamaan liberal dan mengutuk ekstremisme dalam segala bentuk".
Haider mengatakan kepada Associated Press empat orang bersenjata dengan dua sepeda motor menyerang Zaki pada hari Sabtu (7/5) di sebuah restoran pinggir jalan, ketika ia sedang makan dengan teman. Temannya terluka, kata saksi mata.
Polisi belum mengetahui dengan jelas siapa pelaku serangan.
Menurut The Independent, Zaki dikenal setelah memimpin kampanye menentang Abdul Aziz, ulama Masjid Merah di Islamabad, yang dikenal sebagai sarang ekstremis Islam. Zaki dan juru kampanye lainnya mengajukan Abdul Aziz ke pengadilan dengan tuduhan menghasut untuk melawan minoritas Syiah di negara itu.
Beberapa jam sebelum kematiannya, ia memuji proses terpilihnya Khan sebagai walikota London, menyoroti bahwa London telah bangkit di atas diskriminasi dan fanatisme dan sekarang memberikan contoh bagi dunia.
"Sadiq Khan bukan orang Pakistan. Ia seorang Inggris. Pujian atas keberhasilannya jatuh kepada kerja kerasnya dan kesempatan yang sama yang diberikan oleh sistem Inggris. Pakistan dan Islam tidak memainkan peran apa pun dalam meroketkan namanya. Dan dia menjadi bukti kepada semua Muslim Inggris dan etnis lain di Inggris bahwa siapa pun yang menyalahkan sistem mereka dan menuduhnya bias dan diskriminatif, mereka malas dan pembohong, " kata aktivis itu, yang dia posting pada halaman Facebook-nya pada hari Sabtu.
Dia menambahkan: "Saya merayakan kebesaran Demokrasi Sekuler Barat. Pada hari-hari ini, di era terorisme dan Islamofobia Takfiri Deobandi/Wahabi, London telah bangkit di atas diskriminasi dan fanatisme dan melambung sebagai pusat akbar peradaban manusia yang menjadi contoh hebat bagi dunia."
"Akankah kita pernah memilih seorang Ahmadiajh atau Hindu atau Kristen jadi perdana menteri? Lupakanlah, kita telah melepaskan semua kekuatan hukum dan diskresi bagi terpilihnya walikota secara demokratis dari kota terbesar ketiga di dunia (Karachi) kepada etnisitas. Dan alangkahu bodoh dan memalukannya kita orang Pakistan telah mempermalukan keberhasilan sukses bangsa kita seperti yang diraih Malala dan Sharmeen."
Sebagai catatan Malala Yousafzai adalah seorang murid sekolah dan aktivis pendidikan dari kota Migora, Distrik Swat, Pakistan. Ia terkenal dengan aktivismenya membela hak-hak perempuan di Lembah Swat, di mana Taliban melarang anak perempuan bersekolah. Pada awal tahun 2009, saat berumur sekitar 11 dan 12, Yousafzai menulis di blognya di bawah nama samaran tentang betapa mengerikannya hidup di bawah pemerintahan Taliban.
Pada tahun 2014 dia bersama Kaliash Satyarthi meraih hadiah Nobel Perdamaian untuk perjuangan mereka melawan penindasan anak-anak dan pemuda serta untuk mendapatkan hak pendidikan bagi mereka.
Ada pun Sharmeen Obaid Chinoy mencatat sejarah sebagai satu-satunya orang Pakistan yang meraih dua Piala Oscar. Tahun ini, perempuan berusia 37 tahun ini meraih Piala Oscar dalam kategori Dokumenter Terbaik (Subyek Pendek) untuk filmnya yang berjudul A Girl in the River – The Price of Forgiveness.
Sebelumnya, pada 2010 ia juga meraih Piala Oscar untuk filmnya Saving Face - juga dalam kategori sama- sebagai orang Pakistan pertama yang dianugerahi Oscar.
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...