Aktivis Perempuan Tagih Janji Presiden Selesaikan Konflik Agraria
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Perempuan-perempuan pejuang lingkungan hidup menagih janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait penyelesaian konflik agraria. Pasalnya, menurut para aktivis itu, setiap rezim tidak pernah menepati janji untuk menyelesaikan konflik agraria yang sering terjadi di Indonesia.
"Konflik agraria dari rezim ke rezim meningkat, seperti baru-baru ini, yang paling dahsyat, terjadi di Mesuji Lampung. Sampai saat ini pemerintah tidak tahu penyelesaiannya seperti apa," kata Eva Bande, aktivis lingkungan hidup di Program Studi Kajian Gender di Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya No 4 Jakarta Pusat, Selasa (23/6).
Eva, yang juga dikenal sebagai pembela hak-hak petani, juga mengatakan pemerintah bahkan selalu menghadapi benturan kepentingan, yang menyebabkan tidak pernah menepati janji untuk menyelesaikan konflik.
Konflik-konflik horizontal itu, menurut Eva, bermula dari masalah perizinan, yang kemudian berdampak pada soal ketimpangan penguasaan tanah. Begitu benturan terjadi, melalui aparat, maka keamanan warga setempat pun terancam, karena biasanya aparat mengamankan dengan menggunakan kekerasan.
Warga setempat pun menjadi korban penangkapan. "Karena aparat keamanan melakukan upaya-upaya mengamankan perusahaan, bukan (mengamankan) rakyat, sehingga menimbulkan benturan," katanya.
Sulitnya penyelesaian konflik agraria itu, menurut Eva, diperparah dengan rongrongan elite politik. "Kalau sudah begini keadaannya, yakin tidak akan ada penyelesaian," katanya.
Janji Politik tentang Nawa Cita
Eva bersama perempuan aktivis lingkungan hidup lainnya, pada kesempatan itu juga meminta Presiden Joko Widodo merealisasikan janji politiknya tentang Nawa Cita, janji Jokowi saat kampanye Pilpres 2014.
Eva Bande mengaku tidak melupakan jasa Jokowi yang telah memaafkannya sehingga dia bebas dari hukuman badan atas tuduhan menghasut petani berunjuk rasa yang berujung pada pembakaran aset milik PT KLS di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. "Saya mengucapkan terima kasih kepada Jokowi yang telah memberikan saya grasi, tapi konflik-konflik harus diselesaikan. Itu sebabnya saat ini saya ingin menagih janji Jokowi, yang dalam Nawa Citanya ingin menyelesaikan konflik agraria," katanya.
Eva berharap Presiden Jokowi sebagai kepala negara, sekaligus kepala pemerintah, hadir ketika terjadi konflik. "Saatnya negara hadir untuk menyelesaikan konflik agraria. Kalau tidak, tetap akan ada kerusakan, seperti perampasan tanah," kata dia.
Upaya kriminalisasi terhadap masyarakat setempat pun akan terus terjadi kalau tidak ada upaya penanganan serius dari pemerintah. Pasalnya, lahan-lahan milik masyarakat setempat jika tidak dilindungi lambat laun akan berubah fungsi dikuasai swasta, bahkan asing.
Pada saat memberikan keterangan pers, Eva Bande menceritakan bagaimana perempuan di luar Jawa berjuang demi mempertahankan tanah yang telah ditanami sawit oleh pihak swasta. Mereka, kadang mendapatkan upaya kriminalisasi oleh pihak swasta karena memperjuangkan tanahnya.
Salah satu aktivis perempuan, Gunarti, contohnya, saat ini sedang mempertahankan ruang hidupnya dari tambang dan pabrik semen yang sekarang sedang melakukan ekspansi besar-besaran di seluruh Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan.
Aktivis lain, Opung Putra, mewakili konflik dari kawasan Sumatera. Greenpeace pernah menyebut Opung Putra sebagai "Silent Hero". Sementara itu Aleta Baun, mewakili potret perlawanan perempuan adat di pulau kecil. Kini perjuangannya memasuki babak baru, bertarung di ruang kebijakan, menjadi anggota DPRD.
Sedangkan Nisa, mewakili gerakan alternatif, memimpin lembaga pesantren ekologi yang mendidik anak-anak petani yang tidak punya tanah agar kelak kembali ke kampungnya.
Mereka adalah perempuan-perempuan hebat, yang menembus berbagai rintangan demi lingkungan hidup.
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...