Aliansi 34 Negara Islam Bakal Layu Sebelum Berkembang
RIYADH, SATUHARAPAN.COM - Koalisi militer 34 negara Islam yang dipelopori oleh Arab Saudi sudah mulai menampakkan kerapuhannya, hanya beberapa hari setelah diumumkan. Ketimbang sebagai aliansi militer yang ditakuti, banyak pengamat menilai koalisi ini lebih sebagai macan di atas kertas.
Sehari setelah negara kerajaan di Teluk Arab itu mengumumkan terbentuknya aliansi, beberapa dari 34 negara anggota yang dimasukkan dalam daftar, justru membantah ikut, bahkan menyatakan tidak tahu-menahu adanya aliansi.
"Saya pikir itu merupakan sebuah blunder," kata William Hartug, direktur pada Center for International Polcy, AS, seperti dilansir oleh Vice News
"Mereka beranggapan bahwa jika mereka menetapkan irama, negara-negara lain langsung ikut serta," kata dia.
Di antara negara yang mengatakan tidak tahu-menahu tentang aliansi ini adalah Pakistan. Negara ini termasuk dalam daftar yang dilansir oleh Arab Saudi, tetapi otoritas negara itu mengatakan mereka tidak diberitahu perihal adanya aliansi.
Menteri Luar Negeri Pakistan, Aizaz Chaudhry, mengatakan dirinya "terkejut" oleh berita keterlibatan negaranya, sebagaimana dikutip oleh kantor berita Dawn, Pakistan.
Namun belakangan, Kementerian Luar Negeri Pakistan mengeluarkan pernyataan yang mengatakan "Pakistan dan Arab Saudi menikmati hubungan dekat, ramah, dan penuh persaudaraan."
Para ahli mengatakan sebetulnya tidak mengherankan bila Pakistan keberatan bergabung dengan aliansi yang mungkin akan meliputi pengiriman pasukan ke Timur Tengah itu. Aliansi tersebut memang tidak memasukkan negara-negara Muslim beraliran Syiah seperti Iran, Irak, atau Suriah, yang menunjukkan bahwa aliansi ini hanya reaksi melawan Teheran, saingan Riyadh di Timur Tengah, dalam memerangi teror. Penduduk Muslim di Pakistan sendiri sebagian besar adalah beraliran Syiah.
Selain Pakistan, Palestina juga mengatakan tidak diberitahu tentang adanya aliansi. Jurubicara Kementerian Luar Negeri Palestina, Taisser Jaradat, berkata kepada NBC News pada hari Selasa bahwa dia tidak tahu sama sekali tentang adanya aliansi dan baru mengetahuinya dari media. Padahal, Palestina termasuk dalam daftar.
"Bagaimana kami melawan terorisme? Kami justru perlu seseorang untuk membantu kami," kata Jaradat.
Lebanon juga memberi sinyal tidak jelas. Perdama Menteri Tammam Salam mengatakan ia mendukung ide pembentukan koalisi. Ia mengatakan ini adalah langkah maju bagi seluruh rakyat Islam melawan terorisme.
Namun, Menteri Luar Negeri Lebanon justru mengeluarkan pernyataan yang mengatakan tidak ada satu pun di Lebanon diajak bicara untuk pembentukan koalisi itu.
Kepentingan Politik Arab Saudi
Kalangan dalam negeri Arab Saudi belakangan ini memang mempertanyakan efektifitas perang Arab Saudi di Yaman. Ini ditengarai menjadi salah satu alasan mengapa Arab Saudi getol membentuk aliansi. "Beberapa pihak di Arab Saudi telah berubah pikiran terhadap perang Yaman yang belum menghasilkan kemenangan yang menentukan seperti yang dijanjikan sejak awal," kata Bruce Riedel, seorang peneliti di Brookings Institution dan menghabiskan 30 tahun berkarier di CIA.
Untuk mengeliminasi keraguan itu, diperlukan sebuah acara diplomatik tingkat tinggi. Dan deklarasi aliansi 34 negara Islam dianggap tepat untuk meredam kritik terhadap Kerajaan Arab Saudi. Paling tidak untuk sementara waktu.
Riedel meragukan keberhasilan aliansi ini. Memang, kata dia, disamping untuk meredam keraguan di dalam negeri, pembentukan aliansi ini dapat mengakomodasi kritik AS yang mengatakan negara-negara Arab masih kurang serius memerangi ISIS. "Aliansi ini juga dapat menjadi platform yang lebih efektif dalam perang ideologi dengan memobilisasi ulama-ulama Islam," kata dia.
Namun, ia melanjutkan, "dunia Arab telah berbicara tentang aliansi militer sejak tahun 1940-an tetapi belum juga menghasilkan sesuatu yang serius," tutur dia.
Menurut Riedel, masalah utama aliansi justru berada di Arab Saudi sendiri sebagai pelopornya. Sebelum menjalin aliansi yang lebih luas dengan negara-negara lain, menurut para analis, Arab Saudi harus mengakhiri sikap ambivalensinya terhadap ISIS.
Arab Saudi telah menjadi sekutu utama dan memberikan informasi intelijen penting kepada Washington dalam perang melawan al-Qaida. Namun, kata Riedel, pada saat yang sama "adalah fakta bahwa kerajaan Arab Saudi telah mengekspor selama beberapa dekade terakhir suatu merek Islam yang tidak toleran, atau bahkan lebih buruk," kata Riedel.
"Intoleransi itu," kata Riedel, ketika berbicara dalam sebuah panel baru-baru ini, "telah membantu membangun infrastruktur di mana al-Qaida dan ISIS mampu merekrut pengikut begitu banyak."
Sebagai catatan, Arab Saudi mencakup Wahhabisme, suatu bentuk puritan pemahaman Islam Sunni. Karena Islam Sunni merupakan yang terbesar dari 1,6 miliar warga Muslim dunia, pesan yang disampaikan oleh Arab Saudi beresonansi sangat luas, tetapi dengan konsekuensi negatif.
Arab Saudi telah mengeluarkan dana dalam jumlah besar untuk membangun masid, sekolah Islam atau madrasah di negara-negara seperti Malaysia dan Pakistan. Menurut Hartung, langkah ini sering disalahkan sebagai lahan terbentuknya ekstremisme Islam yang saat ini justru ingin diperangi oleh aliansi. Lebih jauh, Hartung mencatat bahwa Raja Salman dari SAudi tampaknya saat ini juga sedang menciptakan kondisi di Yaman yang juga akan membuat terorisme lebih berkembang.
Oleh karena itu, Hartung mengatakan, langkah yang lebih sebagai aksi kehumasan itu --pembentukan aliansi 34 negara -- untuk menjawab kritik atas ke-ultraortodoks-an Kerajaan Arab SAudi tidak cukup untuk membendung penyebaran ISIS yang ultra ortodoks.
"Bahkan ketika Arab Saudi berbicara tentang koalisi antiteror, ISIS justru sedang memuliskan jalan menuju Yaman," kata Hartung. "Bukan hanya mereka tidak memerangi ISIS di Suriah, mereka bahkan secara tidak sengaja membantu ISIS berkembang di Yaman," kata dia.
Kamel Daoud, seorang penulis dan analis Aljazair, baru-baru ini menulis di The New York Times bahwa bentuk Wahhabisme Arab Saudi adalah "bentuk ultra-puritan Islam yang ditelan oleh ISIS."
"Arab Saudi adalah ISIS yang telah berhasil menjalankannya (Islam ulta-puritan)," kata Daoud.
Sebuah studi terbaru oleh Brookings menunjukkan Arab Saudi merupakan negara tempat pengguna Twitter pendukung ISIS terbanyak pada tahun 2015.
Robert Jordan, mantan duta besar AS untuk Arab Saudi, mengatakan kepada VOA bahwa peran Arab SAudi sangat penting dalam mengatasi isu dukungan ideologis terhadap terorisme. Namun, ia juga mencatat bahwa kepemimpinan politik Arab Saudi terpaksa harus melakukan tawar-neawar dengan para ulama yang berpengaruh dalam upaya melanggengkan kekuasaan.
"Banyak ekstremisme berasal bukan langsung dari pemerintah (Arab Saudi), atau keluarga kerajaan, tetapi melalui kalangan agamawan yang didanai oleh keluarga kerajaan, tempat mereka menggantungkan legitimasinya," kata Jordan.
Arab Saudi juga memandang Iran sebagai ancaman utama mereka. Ini merupakan, faktor yang membuat perang melawan kelompok ekstremis seperti ISIS dan al-Qaida di Teluk Arab menjadi seperti api yang membakar dari belakang.
"Sangat-sangat menguras tenaga bagi Arab Saudi untuk memerangi pengaruh Iran melalui berbagai bentuk perang proxy yang mereka pandang sebagai ancaman yang lebih berbahaya dibanding ISIS."
Menteri Pertahanan AS, Ash Carter, menyambut gembira pembentukan aliansi, yang menyebutnya,"sangat sejalan dengan sesuatu yang kita sudah desak untuk beberapa waktu, yang merupakan keterlibatan yang lebih besar dalam kampanye untuk memerangi ISIS oleh negara-negara Arab Sunni."
Namun, David Weinberg, anggota senior pada Foundation for Defense of Democracies, memperingatkan bahwa sejarah Arab Saudi untuk memerangi terorisme telah memiliki catatan mengecewakan.
Menurut dia, Dewan Kerjasama Negara-negara Telukl dan, baru-baru ini, pasukan gabungan Arab untuk memerangi ekstremis Islam dan kelompok-kelompok yang didukung Iran, telah mandeg dan terjebak dalam perbedaan pandangan tentang siapa yang menjadi musuh mereka.
Di antaa 34 negara yang diklaim bergabung dalam aliansi adalah Yordania, Yaman, Afganistan, Bahrain, Turki, Uni Emirat Arab, Tunisia, Lebanon, Libya, Mesir, Pakistan, Bangladesh, Malaysia, Sudan, Somalia, Mali dan Nigeria.
AS Memveto Resolusi PBB Yang Menuntut Gencatan Senjata di Ga...
PBB, SATUHARAPAN.COM-Amerika Serikat pada hari Rabu (20/11) memveto resolusi Dewan Keamanan PBB (Per...