Amazia vs Amos
Amos tetap bersuara meski tidak didengar.
SATUHARAPAN.COM – ”Amos telah mengadakan persepakatan melawan tuanku di tengah-tengah kaum Israel; negeri ini tidak dapat lagi menahan segala perkataannya. Sebab beginilah dikatakan Amos: Yerobeam akan mati terbunuh oleh pedang dan Israel pasti pergi dari tanahnya sebagai orang buangan” (Am. 7:10-11). Demikianlah pesan Amazia, melalui orang suruhannya, kepada Raja Yerobeam. Pesannya pendek dan jelas: Amos bertindak makar.
Pesannya bukan sembarang pesan. Pesan itu dikirim oleh Amazia, seorang imam di Betel, kepada Yerobeam, raja Israel. Sifatnya pastilah sangat rahasia dan penting. Perkataan Amos itu telah menimbulkan kebingungan dan keresahan di masyarakat.
Kebingungan karena pada masa itu, sekitar abad ke-8 sM, Israel sedang berada di puncak kejayaan. Banyak orang hidup makmur, ibadah dipentingkan, dan negeri Israel tampak damai. Pesan Amos membuat banyak orang bertanya-tanya: Bagaimana mungkin, negara yang tampak damai dan makmur itu bisa kalah perang dan rakyat Israel dibuang ke negeri lain? Tentulah keadaan macam begini membuat resah rakyat kebanyakan, yang berujung pada instabilitas negeri.
Amos memiliki alasan kuat. Di mata Tuhan, Israel telah menyimpang dari kehendak Tuhan—Israel memang cukup makmur, tetapi yang mengecapnya hanyalah para hartawan yang memperkaya diri dengan cara menindas orang miskin. Ibadah hanya sebagai kedok untuk menutupi kesalahan. Keadaan inilah yang menyebabkan Amos, dengan berani dan penuh semangat, menyampaikan pesan bahwa Allah akan menghukum bangsa Israel.
Apa yang disampaikan Amos bukan kabar menyenangkan dan bertentangan dengan pendapat imam-imam di Betel. Perbedaan ini, sekali lagi, membingungkan dan meresahkan umat Israel. Lalu, mana yang benar?
Berkait dengan mana yang benar, agaknya Amazia tidak lagi mempersoalkan mana yang benar. Di mata Amazia, imam di Betel itu, Amos adalah saingan, bahkan musuh. Ketimbang mendiskusikan mana yang benar, Amazia lebih suka memakai tangan pemerintah. Di sini jelas terlihat bagaimana kaum agamawan berkolaborasi dengan penguasa. Daripada berdiskusi dengan Amos, Amazia lebih suka menjadikan raja sebagai alat untuk menghukum Amos.
Ketimbang mendiskusikan apa yang benar di mata Tuhan, Amazia lebih suka mengusir Amos. Kata Amazia kepada Amos, ”Pelihat, pergilah, enyahlah ke tanah Yehuda! Carilah makananmu di sana dan bernubuatlah di sana! Tetapi jangan lagi bernubuat di Betel, sebab inilah tempat kudus raja, inilah bait suci kerajaan.” (Am. 7:12-13).
Sebenarnya, ada kontradiksi dalam ucapan Amazia. Bagaimanapun, Amazia mengakui bahwa Amos adalah pelihat. Imam di Betel itu menyadari bahwa Amos sedang bernubuat. Namun, dia ingin Amos tidak bernubuat di Betel, tetapi di tanah kelahirannya, di Yehuda. Jelas, Amazia melihat Amos sebagai saingan. Kalau sudah begini, apa pun yang dikatakan Amos tidak penting lagi.
Berkenaan dengan pengusiran itu, Amos menjawab, ”Aku bukan nabi karena jabatan. Sebenarnya aku peternak dan pemetik buah ara. Tapi TUHAN mengambil aku dari pekerjaanku, dan menyuruh aku menyampaikan pesan-Nya kepada orang Israel.” (Am. 7:14-15, BIMK).
Amos hendak menegaskan bahwa dia bukan nabi karena jabatan. Amos seorang petani. Namun, Tuhan menyuruh dia menyampaikan pesan kepada Israel. Dalam kalimat ini, Amos menyatakan bahwa dia hanya penyampai pesan. Dan sebagai penyampai pesan, Amos tidak mau mengorupsi pesan tersebut. Dia ingin menyampaikan pesan itu apa adanya. Dia tidak ingin menyampaikan apa yang enak didengar telinga. Bagaimanapun, dia hanya penyampai pesan. Dia tetap bersuara meski tidak didengar!
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...