Amerika Peringati 50 Tahun Kebebasan Hak Sipil
WASHINGTON, SATUHARAPAN.COM - Amerika Serikat (AS) memperingati hari kebebasan hak sipil pada Minggu (25/8) di Lincoln Center, Washington. Ini adalah tempat Martin Luther King berpidato pada 1963 menyuarakan tentang kesetaraan dalam segala bidang.
Ratusan orang berkumpul memperingati “Pawai Washington” yang legendaris itu, mereka hadir di tempat itu dalam rangka mengenang pidato berjudul I Have a Dream yang dibacakan Martin Luther King, tujuannya tidak lain menuntut persamaan hak dalam sejarah Amerika.
Oleh karena itu dengan dilandasi semangat mencapai keadilan dalam memilih dan mengekspresikan pendapat, Martin Luther King berpidato di Washington tersebut guna menyerukan kebebasan dan keadilan hak-hak sipil.
Perayaan 50 tahun tersebut dibayangi bahwa ada penghapusan terhadap dua pasal dalam Undang Undang Pemilih yang diterbitkan pada tahun 1965, namun selanjutnya dianggap inkonstitusional, maka konsekuensinya adalah negara-negara bagian yang terletak di bagian selatan AS mengambil langkah pencegahan penipuan pemilih.
Sherrilyn Ifil selaku penasihat direktur NAACP (Asosiasi Perlindungan Kelompok Kulit Berwarna/ National Association for the Advancement of Colored People), kebetulan hadir dalam acara di sekitar Lincoln Center, Sherrilyn mengatakan bahwa pada tahun ini sungguh sulit bagi setiap orang berlomba-lomba mendapat peranan dalam hak sipil.
“Ini telah menjadi musim panas yang sungguh sulit, karena benar-benar sulit untuk orang-orang dari ras tertentu mendapat hak-hak sipil di negara ini, masih banyak yang senasib kalau begini caranya mereka bisa terluka secara psikologis," kata Sherrilyn Ifill.
Sherrilyn menambahkan apabila dikaitkan dengan 50 tahun lalu saat Martin Luther King berpidato tentang persamaan hak-hak sipil dan agregasi, maka perjuangan tersebut belum akan berakhir.
“Ketika kita mendekati peringatan 50 tahun pidato Martin Luther King yang bersejarah ini, kita diingatkan bahwa perjuangan untuk kesetaraan hak-hak dan kesetaraan masih jauh lebih mudah daripada apa yang ada pada masa lalu,” lanjut Sherrilyn.
Hillary Clinton yang kebetulan berpendapat bahwa pada bulan Agustus 2013, dalam kaitannya dengan momen pidato Martin Luther King tersebut merupakan momen yang tepat untuk bangkit dari ketertindasan dan ketidakadilan bagi pemilih, karena perubahan diperlukan untuk memastikan integritas dari sistem pemilu Amerika Serikat.
Ben Jealous, yang turut hadir pada pertemuan tersebut selaku pimpinan NAACP mengatakan bahwa pihaknya akan meneruskan perjuangan bagi warga yang mengalami diskriminasi untuk segala bidang.
"Ketika mereka mengatakan 'tidak, anda telah melakukan perkawinan sejenis oleh karena itu, Anda tidak dapat memperluas hak, maka bagi kami kita mengatakan 'ya, kita bisa,” ujar Ben.
Menurut radioaustralia.com.au, jumlah yang hadir dalam peringatan ini lebih sedikit dibandingkan pada saat Martin Luther King menyampaikan pidatonya soal kesetaraan ras di tempat yang sama tahun1963 lalu.
Pihak-pihak yang hadir pada saat Martin Luther King berpidato dahulu, merasa bahwa pada era dewasa ini banyak perlu dilakukan tentang kesetaraan pandangan di masyarakat umum tentang pasangan sesama jenis, kaum miskin dan penyandang cacat.
Sementara itu pemimpin Partai Republik, David Lewis mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah membatasi hak memilih warga negara dalam sebuah pesta demokrasi atau pemilu.
“Kami pikir ini hanya reformasi akal sehat," kata David Lewis, yang memimpin penyusunan RUU Pemilu di Konggres Amerika Serikat.
“Tidak ada niat kami untuk membatasi orang untuk dapat menggunakan hak pilihnya,” lanjut David.
Menurut hukum yang berlaku di negara bagian Karolina Utara, disahkan dua minggu lalu, mewajibkan foto yang teridentifikasi negara saat pemilihan umum, dan melaksanakan program pendaftaran bagi pemilih yang berusia lebih dari 18 tahun. Kasus ini telah menyita perhatian publik.
Sementara itu di negara bagian Texas, permasalahan yang muncul adalah keharusan foto identitas yang sesuai dengan ketentuan negara yang baru bukan di bawah ketentuan Undang-Undang Pemilih yang lama, hal ini mendorong Jaksa Agung Eric Holder mengajukan gugatan terhadap negara, dan ingin mengembalikan negara bagian Texas dalam Undang-Undang Pemilu dengan persyaratan pre-clearance Voting Rights Act.
Menurut usatoday.com, Anggota parlemen dari Partai Republik mempertahankan pendapat dan hak mereka untuk menjalankan negara mereka tanpa gangguan intervensi dari pejabat-pejabat hukum di setiap negara bagian manapun di AS.
Pertentangan yang terjadi di negara-negara bagian tersebut setidaknya telah melahirkan tuntutan hukum oleh NAACP, American Civil Liberties Union dan lembaga swadaya masyarakat lainnya, bahwa undang-undang bagi para pemilih saat ini adalah undang-undang yang masih dibatasi masalah perbedaan ras. (usatoday.com/ radioaustralia.com.au/ nytimes.com)
Editor : Bayu Probo
Bangladesh Minta Interpol Bantu Tangkap Mantan PM Sheikh Has...
DHAKA, SATUHARAPAN.COM-Sebuah pengadilan khusus di Bangladesh pada hari Selasa (12/11) meminta organ...