AMSIK: Proses Hukum Gubernur Ahok Dinilai Tidak Fair
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Proses hukum terhadap Gubernur nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok atas dugaan penistaan agama dinilai tidak fair. Hal itu disampaikan oleh Hendardi dari Setara Institute dalam konferensi pers bersama dengan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi yang digelar di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, hari Sabtu (10/12).
“Pertama, sejak kasus ini digugat soal penistaan agama, saya melihat dari sisi yuridis. Ketika kasus ini berpindah dari kepolisian yaitu P21 ke kejaksaan itu sudah proses yuridis. Kejaksaan sudah menentukan menggunakan Pasal 156 dan 156a. Mengenai pasal tersebut 156a disebutkan golongan-golongan, dan pasal ini diadopsi pada zaman Hindia-Belanda, dan pada waktu saat itu hanya ada tiga golongan, yaitu golongan pribumi, golongan Hindia-Belanda yaitu Eropa, dan golongan Timur Asia. Pasal tersebut sudah invalid setelah pembukaan Undang Undang Dasar 1945 dibacakan dan pasal tersebut sudah memalukan untuk digunakan. Namun kenyataannya pasal tersebut masih digunakan untuk kasus Ahok, seharusnya jika negara ini maju seyogianya pasal tersebut sudah ditinggalkan, itu dari segi pasalnya,” kata Hendardi dalam pernyataannya.
Hendardi menambahkan, "Berkaitan dengan kecepatan proses di tingkat Kejaksaan Agung, saya menilai ini proses hukum yang tidak fair. Untuk 826 halaman berkas perkara, hanya tiga hari proses P21, dan saya mendapat informasi dari dalam kejaksaan hanya membutuhkan waktu dua jam itu sudah dilemparkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Biasanya, dibutuhkan 14 hari untuk masuk P21 dalam setiap perkara."
Ini bertolak belakang dengan langkah Kejaksaan Agung dalam menangani kasus-kasus lain, khususnya soal pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang sampai saat ini berkas perkara bolak-balik dari kepolisian ke kejaksaan atau dilempar kembali ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
"Jika Kejaksaan Agung ingin menunjukkan keseriusan dalam menangani perkara dengan mempercepat kasus tersebut ke pengadilan kepada publik, saya menilai itu bukanlah bekerja secara serius. Bahwa trial by move atau tekanan kerumunan massa itulah yang bekerja efektif dan mempengaruhi independesi Kejaksaan Agung menetapkan keterpenuhan unsur pidana."
Selain Hendardi, hadir narasumber di antaranya, pengasuh Pondok Pesantren Annizhormiyyah, Neng Dara Affiah, aktivis Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Moh Monib, dan Guru Besar Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto.
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...