KontraS: Agenda Penyelesaian HAM belum Jadi Prioritas
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Saat memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) internasional hari ini (10/12), pemerintah dinilai belum memprioritaskan agenda penyelesaian sejumlah kasus. Hal itu disampaikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam diskusi bertajuk ‘Catatan Situasi dan Advokasi Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia 2016’ yang digelar di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, hari Sabtu (10/12).
“Dalam catatan KontraS, tahun ini bukanlah tahun yang baik bagi upaya penghormatan dan perlindungan hak sipil dan politik di Indonesia. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pola pelanggaran HAM yang terjadi ditahun ini lebih beragam, di antaranya aktor non-pemerintah seperti perusahaan semakin unjuk gigi melawan masyarakat dengan berlindung dibalik pemerintah,” kata Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS, Yati Andriyani.
Andriyani menambahkan, contoh paling mudah adalah kasus petani bernama Salim Kancil yang tewas akibat komodifikasi tanah dan tambang yang tidak pernah teregulasi dengan baik di Indonesia. Kemudian kasus sengketa lahan milik masyarakat yang telah melibatkan preman-preman sipil bersenjata atau kekuatan korporasi dengan mengongkosi pasukan elit militer guna menguasai tanah adat di wilayah rawan konflik.
Berdasarkan catatan KontraS mengenai tantangan dan problematika kondisi HAM sepanjang tahun ini yang menjadi perhatian di antaranya, pertama, hukum diperdaya untuk membatasi hak sipil politik dengan masih adanya praktek penyiksaan. Tindakan penyiksaan dalam periode Juni 2015 sampai dengan Juni 2016, telah terjadi 134 kasus penyiksaan di seluruh Indonesia yang melibatkan aparat kepolisian dan militer, serta petugas lembaga pemasyarakatan.
Kedua, unjuk kekuatan dan kontrol pemberantasan terorisme yang dinilai mewarnai perhatian publik sepanjang tahun. Diawali dengan aksi teror di Jakarta, negara merespon dengan berbagai tindakan unjuk kekuatan (show of force) dalam melakukan pemberantasan terorisme.
Ketiga, hukuman mati serta akuntabilitas penanggulangan narkotika yang tahun ini pemerintah kembali menorehkan catatan buruk terhadap penghormatan hak hidup dengan kembali melaksanakan eksekusi hukuman mati. Eksekusi terhadap terpidana mati menjadi momentum bagi publik untuk mempertanyakan akuntabilitas operasi penanggulangan narkotika.
Keempat, represi terhadap ekspresi dan dukungan negara yang masih terus bermunculan, di antaranya represi terhadap ekspresi kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), kemudian diskriminasi terhadap kelompok LGBT di Indonesia yang disponsori oleh kelompok intoleran. Keengganan penegak hukum dan berbagai dukungan negara terhadap wacana diskriminatif yang timbul justru dimanfaatkan oleh kelompok intoleran untuk memperkuat dan mengorganisir yang memuncak dalam aksi tanggal 2 Desember 2016 di Monas. Bersamaan dengan hal tersebut, menguatnya kelompok intoleran juga menimbulkan berbagai tindakan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok agama minoritas di Indonesia.
‘Pertama ada dua hal yang memiliki korelasi dan poin dalam penyelesaian HAM, yang pertama soal kapasitas negaranya sendiri, bahwa jangankan menyelesaikan problem HAM yang pernah pernah ada, dalam dua tahun masa pemerintahan Joko Widodo cenderung akomodatif terhadap peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM. Dalam hak asasi manusia itu ada jenis-jenis hak yang negara tidak boleh campur tangan, namun ada situasi-situasi tertentu negara harus aktif melindungi. Saya melihat di pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang ini, negara yang seharusnya melindungi, justru malah tidak hadir dan tidak bekerja,” kata Koordinator KontraS, Haris Azhar.
Haris mengungkapkan, dalam isu-isu kemasyarakatan hak asasi manusia, malah negara melakukan tindakan sebaliknya. Negara yang harusnya menghormati dan menjamin hak setiap individu atau kelompok dalam kebebasan, justru negara melarangnya. Hal itu terlihat dalam jumlah pelanggaran disektor kebebasan, yaitu kebebasan berkumpul dan ekspresi yang sudah alamiah yang sampai saat ini masih dilarang, seperti yang terjadi di Yogyakarta, Maluku Utara, Bandung, dan Jakarta.
Sejak rezim pemerintahan Joko Widodo selama dua tahun ini, saya menilai prakteknya tidak lebih baik dari pemerintahan sebelumnya. Kebebasan bagi masyarakat sipil yang bekerja di isu lingkungan, antikorupsi, hak asasi manusia, dan pembelaan hukum semakin menurun, karena menjadi korban kriminalisasi, diintimidasi, kekerasan dan lain sebagainya.
Tetapi kalau soal keluasaan penguasa dan keluasaan korporasi itu meningkat drastis, dan itu dilegitimasi oleh orang nomor satu yaitu Presiden Joko Widodo. Haris mengatakan, mempercepat izin pembangunan, izin-izin proyek yang cenderung mempermudah para investor atau pengusaha.
“Saya ingin mengingatkan kepada pemerintah, dalam ruang demokrasi yang membutuhkan partisipasi sekarang ini diperlukan kontrol. Tidak ada kontrol dan partisipasi yang lebih indah, ketika suara kontrol tersebut berisi tentang materi HAM yang dijamin oleh konstitusi dan semua itu berbasis pada keringat, pada penderitaan, air mata dan juga darah. Jadi, jika presiden merespon tentang masalah-masalah HAM, maka tidak ada yang mengecewakan seharusnya, tetapi malah semua itu diabaikan,” ujar Haris.
Hadir dalam diskusi tersebut, Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS, Yati Andriyani, pengajar ilmu filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Karlina Supeli.
Editor : Eben E. Siadari
Cara Telepon ChatGPT
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perusahaan teknologi OpenAI mengumumkan cara untuk menelepon ChatGPT hing...