Anak-anak Catat Masih Diabaikan
SATUHARAPAN.COM - Di banyak negara orang-orang cacat sering diabaikan, dan di antara mereka yang paling diabaikan adalah anak-anak cacat. Dana Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Anak ( United Nations Children's Fund / UNICEF) mengungkapkan bahwa sebagian besar anak-anak cacat di negara berkembang bernasib lebih buruk.
Laporan terbaru UNICEF menyebutkan bahwa tidak lebih dari 15 persen orang cacat di negara berkembang yang memiliki akses pada peralatan yang diperlukan, seperti kursi roda. Sedangkan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organiozation / WHO) menyebutkan bahwa tiga perempat dari orang-orang yang menderita epilepsi di negara-negara miskin tidak menerima obat yang diperlukan.
UNICEF kemarin merilis laporan Situasi Anak-anak di Dunia. "Kita tahu bahwa di satu sisi, semua negara membentangkan spanduk untuk hak-hak anak, dan mereka menandatangani Konvensi PBB tentang Hak Anak," kata Rudi Tarneden dari UNICEF.
Namun realitas di banyak negara sangat berbeda. Nasib anak-anak cacat dan keluarga mereka tidak dianggap sebagai masalah yang signifikan dalam politik, katanya. "Sering kali, anak-anak bahkan tidak terdaftar setelah mereka lahir. Anak- anak cacat sering disembunyikan oleh keluarga mereka dan tidak bisa pergi ke sekolah.”
Namun demikian, sebuah laporan dari UNICEF cukup menarik perhatian tentang anak cacat, seperti yang dialami Uyen dari Vietnam.
Kisah Uyen dari Vietnam
Uyen (9 tahun) berasal dari sebuah kota di Vietnam, Zandong. Dia cacat mental. Untuk waktu yang lama dia tinggal di rumah dengan kakek-neneknya tanpa bantuan atau pendidikan, sampai suatu kali pekerja sosial datang dan meyakinkan sang nenek untuk mengirim gadis itu ke pusat untuk anak-anak cacat.
"Dia tidak bisa berjalan dan hanya bisa berbicara beberapa kata," kata Rudi Tarneden, juru bicaraUNICEF seperti diberitakan bbc.co.uk. "Sekarang, Anda dapat melihat bahwa anak ini sebelumnya terisolasi, dan telah berubah menjadi seorang gadis bahagia, penuh rasa ingin tahun dan cerah."
Di Vietnam sejumlah organisasi membantu keluarga agar lebih memperhatikan anak-anak catat dalam aktivitas di rumah. Hal yang sama dilakukan di sekolah untuk mengatasi prasangka pada mereka.
"Anak-anak dengan cacat kecil juga sering dikeluarkan dari sekolah di sini, karena takut dan tindakan diskriminasi," kata Christine Wegner-Schneider, yang mengkoordinasikan projek Caritas di Asia. "Orang sering berpikir kecacatan adalah penyakit menular."
Wegner-Schneider mengatakan, kemajuan yang dialami para orangtua di Vietnam merupakan langkah penting, dan hasilnya berjangka panjang dibandingkan melalui fasilitas sosial yang terpisah.
"Kami ingin anak-anak tumbuh dalam lingkungan rumah mereka," katanya. Itulah mengapa Caritas juga mendukung keluarga miskin dengan kredit mikro untuk memungkinkan mereka untuk berinvestasi di peternakan atau untuk mendirikan sebuah usaha kecil.
Apa yang dialami Uyen merupakan kisah sukses seorang anak cacat dengan akses ke pendidikan, kata Tarneden. Namun demikian, di luar contoh positif Uyen itu, situasinya sangat berbeda bagi sebagian besar anak-anak cacat di negara-negara berkembang.
Di masyarakat bahkan masih ada anggapan bahwa kecacatan bisa menular. Ada banyak upaya untuk mendukung anak-anak cacat, khususnya di negara-negara industri. Namun masih banyak yang dilupakan, diabaikan dan bahkan sering didiskriminasi, kata laporan itu.
Integrasi, Bukan Isolasi
Ketidaktahuan dan stigmatisasi menyebabkan anak-anak cacat menjadi terisolasi dan dengan demikian tak terlihat, kata laporan UNICEF tersebut. Anak-anak cacat juga sering dikirim ke tempat khusus, bukan tumbuh dalam keluarga. Namun UNICEF menyerukan hal yang sebaliknya.
"Kami menuntut bahwa anak-anak cacat tidak lagi diabaikan ketika datang untuk mengajukan perawatan seperti anak biasa, dan bahwa fasilitas yang ada dibuka untuk anak-anak," kata organisasi tersebut yang mengarah pada upaya yang terintegrasi dan bukan isolasi bagi anak-anak cacat.
Banyak contoh projek amal yang sukses menunjukkan bahwa model integrasi bisa dikembangkan. Di Armenia, UNICEF mengembangkan kemampuan guru dalam menanggapi kebutuhan khusus anak-anak cacat. Sejauh ini, 81 sekolah reguler dan 30 taman kanak-kanak telah berpartisipasi dalam projek tersebut.
Personil medis di klinik polio juga telah dididik hal yang sama. "Diagnosis penyakit telah digunakan untuk memberi stigma seumur hidup pada anak cacat," kata Henriette Arens, perwakilan UNICEF Armenia.
Oleh karena itu, Integrasi di sekolah reguler bagi anak-anak cacat adalah langkah besar bagi Armenia, negara di mana sekitar 30 persen anak-anak cacat saat ini tidak bersekolah dalam bentuk apapun.
Anak-anak cacat memang masih diabaikan, dan laporan UNICEF menyerukan untuk perhatian bagi mereka. "Ketika Anda melihat kecacatan pada anak, bukan salah anak itu. Tetapi hal tersebut berarti kehilangan bagi seluruh masyarakat tentang apa yang bisa ditawarkan anak itu. Kerugian mereka adalah hilangnya masyarakat; keuntungan mereka adalah keuntungan masyarakat," kata Direktur Eksekutif UNICEF, Anthony Lake.
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...