Andreas Yewangoe Kritik Perayaan Rabu Abu dan Kamis Putih
KUPANG, SATUHARAPAN.COM - Mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Dr. Andreas Yewangoe, mengaku prihatin dengan kecenderungan gereja-gereja Reformasi yang suka meniru tradisi-tradisi tertentu dalam gereja tanpa memahami dengan benar apa latar belakangnya.
Ia mencontohkan perayaan Rabu Abu dan Kamis Putih yang dewasa ini menjadi tren.
“Ada hal-hal yang kita tiru tapi kita tidak tahu latar belakangnya. Misalnya perayaan Rabu Abu dan Kamis Putih. Yang sebenarnya menurut tradisi gereja-gereja reformasi itu sudah dilakukan oleh Kristus. Sehingga tidak usah lagi di ulang-ulangi oleh kita. Ini kecenderungan yang bukan hanya di Kupang tapi juga hampir di seluruh Indonesia. Atau ada juga yang kalau meninggal, kita minta supaya ia juga berdo’a bagi kita di 'sana'. Ini omong kosong besar. Nggak ada. Ini kita tiru-tiru saja. Ini sudah dihapuskan. Kita berpegang pada semboyan 'ecclesia reformata semper reformanda est' tapi kita sama sekali tidak tereformasi di sini,” ungkap Pdt. Yewangoe.
Pernyataan kristis itu disampaikannya pada seminar menyongsong perayaan Paskah yang diselenggarakan oleh Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW)-Kupang, Senin, 10/4-2017.
Selain Pdt. Andreas Yewangoe, kegiatan ini juga menghadirkan dua pembicara lain yakni: Daniel Tagu Dedo, mantan Dirut Bank NTT dan Pdt. Mesakh Dethan, Ph.D.
Pada kesempatan ini, Pdt. Yewangoe yang juga mantan rektor UKAW mempertanyakan praktik simbolisasi agama berupa pemancangan tiang-tiang salib di segala sudut kota Kupang.
“Bagi saya menarik akhir-akhir ini di Kupang orang tanam salib di mana-mana, tiga salib itu, iya kan? Dulu saya belum lihat. Apakah ini sebuah keinsyafan baru bahwa budaya kehidupan sedang disebarkan atau hanya ikut-ikutan saja sebagaimana dilakukan oleh Gereja Katolik?” kritik Pdt. Yewangoe.
Menurutnya, Perayaan Jumat Agung dan Paskah merupakan sebuah memoria (peringatan). Jumat Agung menunjuk kepada kematian; Paskah mengacu kepada kehidupan. Allah menaklukan budaya kematian dan menawarkan budaya kehidupan. Kehidupan ini sangat berharga maka tidak boleh disia-siakan. Ia harus dihidupkan dalam setiap aspeknya.
Terkait makna Paskah bagi penguatan wawasan kebangsaan yang menjadi tema seminar ini, Pdt. Dr. Andreas Yewangoe menegaskan bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal yang melakukan teror di mana-mana pada hakikatnya adalah perbuatan penyebaran kematian; suatu upaya yang anti kehidupan.
Selain itu wajah kematian juga muncul dalam berbagai bentuk kejahatan seperti; pembunuhan, penyiksaan, perilaku tidak adil, penindasan, korupsi bahkan perusakan lingkungan hidup.
Hal ini bertentangan dengan semangat Paskah di mana budaya kehidupan sedang diperkenalkan oleh Allah.
Ia berharap melalui perayaan Paskah tahun ini ada energi baru bagi kehidupan dan masa depan bangsa Indonesia.
Kepada para pemimpin maupun masyarakat ia meminta untuk berintrospeksi dan memperbaharui cara berpikir dan bertindak dengan belajar pada 'Yesus Sang Gembala yang Baik' yang memberikan nyawanya bagi domba-dombanya bukan seperti para pencuri yang justru menyebarkan kematian. (sinodegmit.or.id)
Editor : Eben E. Siadari
RI Take Down 180.954 Konten Radikalisme di Media Sosial
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerja sama dengan Kement...