Apa Setelah Putusan MK?
SATUHARAPAN.COM – Pada hari Rabu (9/7) rakyat Indonesia telah menentukan suara dan pilihannya untuk siapa menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2014 – 2019. Ada dua pangasan calon yang harus dipilih, sementara sejumlah pasangan sudah gagal hanya untuk menjadi calon.
Hari Selasa (22/7) Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghitung secara keseluruhan suara rakyat. Hasilnya pasangan calon Prabowo Subianto – Hatta Rajasa (Nomor urut 1) memperoleh 46,85 persen suara atau 62.576.444 suara. Pasangan calon Joko Widodo – Jusuf Kalla memperoleh 53,15 persen atau 70.997.859 suara. Atas dasar penghitungan itu Joko Widodo – Jusuf Kala dinyatakan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.
Hari Kamis (21/8), berdasarkan gugatan dari calon pasangan Prabowo – Hatta, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa semua gugatan itu ditolak, dan itu merupakan keputusan tertinggi untuk menyelesaikan perselisihan pemilihan umum. Dengan demikian, keputusan KPU yang menetapkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih telah sah.
Proses demokrasi untuk memilih presiden dan wakil presiden telah dilalui dan hasilnya telah ditetapkan, dengan harapan bahwa semua pihak dengan ketulusan hati menerima semua itu. Sebab, tantangan bagi Indonesia sebenarnya adalah apa yang harus terjadi dalam lima tahun ke depan setelah kita menentukan kepala negara dan kepala pemerintahahn kita.
Setelah keputusan MK ini, agenda politik nasional akan terkait dengan berakhirnya jabatan DPR dan DPD lama, serta pelantikan dan pengambilan sumpah untuk anggota DPR dan DPD baru pada 1 Oktober, dan kemudian pelantikan dan pengambilan sumpah Presiden dan Wakil Presiden yang akan diikuti dengan pembentukan kabinet.
Apa Selanjutnya Jokowi?
Yang ditunggu rakyat sekarang adalah Joko Widodo dan Jusuf Kalla mempersiapkan pemerintahan baru dengan organisasi yang efektif dan efisien untuk mewujudkan kerja seperti yang dijanjikan dalam kampanye lalu. Masalahnya mungkin muncul dalam menyusun kabinet, karena jabatan menteri banyak diicar oleh mereka yang merasa pantas, bahkan merasa berjasa.
Namun demikian, rakyat menyaksikan bahwa terpilihnya Joko Widodo – Jusuf Kalla lebih karena partisipasi rakyat. Relawan yang bekerja untuk mendukung pasangan ini, bahkan rakyat yang menyumbang untuk dana kampanye.
Satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah keterlibatan rakyat dalam mengawal proses pemungutan suara dan penghitungan suara yang menyebabkan banyak pihak penyebut pemilihan presiden ini sebagai yang paling berkualitas. Tentang hal ini, pujian hanya pantas bagi rakyat Indonesia, apalagi jika dibandingkan dengan kualitas pemilihan legislatif yang penuh permaianan uang.
Dengan demikian, arah dan pijakan bagi pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla sudah sangat jelas, yaitu kinerja yang berangkat dari janji kampanye dan terukur dengan kepentingan rakyat. Keputusan dan tindakan pemerintah juga harus dengan tegas bisa dibenarkan konstitusi.
Rakyat yang membuat pilpres ini bermakna (sejauh ini) akan mengawal semua itu, untuk mencegah pemerintahan baru melanjutkan kebusukan-kebusukan di masa lalu, dan menghentikan penyimpangan terhadap amanat konstitusi. Pemerintah baru dituntut untuk melakukan perbaikan, meningkatkan kualitas hidup rakyat.
Bagaimana Prabowo ?
Meskipun Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa belum mendapatkan mandat dari rakyat, tidak berarti bahwa medan untuk berkontribusi bagi negara ini telah berakhir. Keduanya adalah pimpinan partai yang dengan kepemimpinannya bisa terus menjaga dan mengembangkan kualitas demokrasi dan pemerintahan di Indonesia.
Partai Gerindra dengan kepemimpinan Prabowo Subianto telah menunjukkan kinerja yang baik, setidaknya dalam lima tahun terakhir, dengan menjadi oposisi yang mengontrol pemerintahan. Posisi ini dengan kekuatan suara 4,4 persen suara pada Pemilu 2009 ternyata meningkatkan elektabilitas partai ini, sehingga pada pemilihan legislatif 2014 meningkat tajam menjadi 11,8 persen. Kenaikan tujuh persen lebih adalah prestasi terbaik di antara semua parati peserta pemilu.
Oleh karena itu, bagi Prabowo Subianto dan partai Gerindra, menjadi oposisi pada lima tahun ke depan merupakan pilihan yang pantas. Apalagi, salah satu yang mendorong reformasi pada 1989 adalah keinginan adanya kontrol dan keseimbangan dalam pemerintahan dengan adanya ruang bagi opoisi. Dan menjadi oposisi adalah peran yang konstruktif dalam demokrasi.
Apa bagi Bangsa Indonesia?
Pemilihan Presiden 2014 memberikan warna baru bagi bangsa Indonesia dalam upaya terus mendewasakan diri dalam demokrasi. Tampilnya Joko Widodo dengan label “orang biasa” yang terpilih sebagai presiden adalah dorongan bagi bangsa ini untuk makin egalitarian dan memberi kesempatan yang sama bagi semua dalam kesetaraan.
Munculnya dari luar struktur partai juga menjadi dorongan reformasi bagi parpol untuk menjaring kader berkualitas dari rakyat, dan tidak terkungkung oleh nepotisme para pimpinan partai yang mengerdilkan kinerjanya. Dukungan rakyat, termasuk dana, adalah cerminan bahwa rakyat harus tampil, terlibat dan aktif untuk membangun kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Sikap pasif dan tidak peduli pada kepentingan bersama sudah seharusnya dikikis atau berakhir.
Rakyat yang memanfaatkan teknologi komunikasi dan berkembangnya media massa dan jejaring sosial telah menjadi pengontrol yang nyata pada proses pemilu ini. Dan hal ini akan menjadi kekuatan baru yang akan mengontrol pemerintahan. Ini tantangan juga bagi DPR untuk memastikan bekerja dengan terukur pada kepentingan rakyat. Jika kinerjanya buruk, rakyat melalui media massa dan jejaring sosial akan mengoreksi mereka dengan pedas.
Pemilu Selanjutnya?
Tantangan kita selanjutnya adalah bagaimana hal-hal yang belum baik dalam pemilihan presiden dibenahi dengan arah yang tegas, bukan karena kepentingan para legislator. Yang terpenting adalah pemilihan legilatif harus ditekan untuk tidak menjadi begitu mahal dan massif kecurangan, serta membuka tampilnya calon anggota dewan yang mampu membuka keterlibatan rakyat.
Perbaikan pada pemilu juga diperlukan dalam pemilihan kepala daerah. Selama ini pemilihan kepala daerah tetap menjadi proses politik yang mahal, penuh kecurangan dan menghasilkan banyak pemerintahan daerah yang korup. Pilpres 2014 ini harus mendorong pada perbaikan kualitas pilkada, dan itu adalah dengan kontrol oleh rakyat.
Namun yang lebih mendasar adalah bahwa demokrasi menjadi pilihan proses politik yang diakui sebagai cara yang damai. Hal ini yang harus dijaga, dan semestinya dimaknai dengan membuatnya semakin menguatkan ikatan kebangsaan, sehingga persaingan dalam proses pemilihan haruslah tidak menjadi benih dan memicu konflik.
Semoga Indonesia makin baik dengan pemerintahan baru.
Jenderal Rusia Terbunuh oleh Ledakan di Moskow, Diduga Dilak...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan pada hari Rabu (18/12) bahwa Rusia ...