Nasionalisme dan 69 Tahun Merdeka
SATUHARAPAN.COM – Apa yang paling menantang kita dalam memperingati tahun ke-69 kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 2014 ini? Nasionalisme kita!
Nasionalisme sering digunakan untuk menggambarkan upaya dan tindakan untuk mempertahankan atau mencapai penentuan nasib sendiri. Dalam pengertian ini, nasionalisme Bangsa Indonesia telah diwujudkan ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945, dan dengan gigih dipertahankan seluruh bangsa.
Namun nasionalisme juga digunakan untuk menjelaskan tentang sikap dan perilaku warga bangsa ketika mereka peduli tentang identitas dan kepentingan bersama secara nasional. Dan dalam pengertian ini nasionalisme kita tengah menghadapi tantangan yang serius.
Ketika ada sekelompok orang yang menyatakan setia dan berjuang bersama Negara Islam Irak dan Suriah (NISS) atau disebut juga ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), itu berarti sikap melepaskan nasionalisme Indonesia. Maka hal yang wajar jika kepada mereka ditawarkan untuk melepaskan kewarganegaraan Indonesia atau meninggalkan gagasan itu. Bukankah ada hak untuk berganti kewarganegaraan?
Hal yang mirip terjadi pada mereka yang menyuarakan “Papua Merdeka”, “Aceh Merdeka”, “Republik Maluku Selatan,” atau hendak mendirikan negara lain di Nusantara ini. Dan hal itu muncul terkait pada landasan kebersamaan tempat berpijak bagi seluruh warga bangsa.
Setara di Atas Landasan Kebersamaan
Nasionalisme Indonesia diikat oleh landasan yang memberi tempat secara layak dan setara bagi setiap komponen bangsa dalam dasar negara Pancasila. Keberagaman merupakan keniscayaan dalam bangsa Indonesia. Tidak mungkin bangsa dan negara Indonesia berdiri di atas satu landasan yang hanya memberi ruang bagi kelompok tertentu, dan kelompok lain ditempatkan dalam ketidak-setaraan.
Oleh karena itu, Pancasila yang hampir satu dekade ini makin sedikit disebut, bahkan cenderung diabaikan menjadikan kita menghadapi banyak masalah kebangsaan, bahkan berimbas pada masalah-masalah politi, sosial dan ekonomi. Sikap yang mengabaikan dasar negara adalah tantangan bagi nasionalisme kita. Sikap dan tindakan ini kemudian cerminan dengan tidak peduli pada identitas dan kepentingan bersama sebagai nation. Sikap ini bisa merapuhkan eksistensi bangsa.
Oleh karena itu, sikap yang masih mempersoalkan Pancasila, apalagi sikap dan tindakan untuk “meniadakannya” sebagai landasan kebersamaan dalam kesetaraan bagi bangsa ini adalah ancaman bagi kebangsaan kita.
Kepentingan Bangsa
Nasionalisme semestinya tercermin dalam praktik kehidupan sehari-hari warga bangsa. Dan dalam konteks ini kita terlalu banyak menyaksikan perilaku yang tidak mencerminkan nasionalisme kita, terutama ketika kepentingan bersama segabai bangsa diabaikan, bahkan dilecehkan.
Membiarkan warga negara diusir dari rumah dan kampungnya, menjadi mengungsi di negara sendiri, dihilangkan hak-hak mereka, dan didiskriminasi dan dianiaya karena keyakinan yang semestinya dilindungi oleh konstitusi, adalah perilaku yang melawan nasionalisme kita. Nasionalisme Indonesia tidak ada pada mereka yang terlibat dalam tindakan membuat warga bangsa dalam ketidak-setaraan, dan diskriminasi.
Kita menyaksikan penyelundupan barang-barang dari luar yang kemudian dijual murah dan mematikan produk warga bangsa sendiri. Kita menyaksikan tanah kita direbut dari rakyat sendiri diserahkan ke perusahaan asing untuk pentingan mereka. Kita melihat perilaku mempersulit warga sendiri untuk mengelola kekayaan, dan justru lebih memilih diberikan kepada pihak asing.
Hal itu terjadi karena dalam bangsa kita ada orang-orang yang lebih suka menerima suap untuk kantong sendiri daripada mempertahankan kepentingan bersama sebagai bangsa. Dan lebih menyakitkan lagi bahwa mereka yang berindak demikian adalah warga bangsa yang diberi “keistimewaan” dalam pemerintahan.
Korupsi yang makin merajalela, adalah tanda yang nyata rapuhnya nasionalisme kita. Koruptor adalah warga bangsa yang tidak punya nasionalisme. Akibatnya, kemerdekaan yang diproklamasikan 69 tahun lalu merapuh karena kita makin kehilangan kemerdekaan dan kedaulatan ekonomi. Dan pada gilirannya kita makin kehilangan pegangan atas identitas kita.
Refleksi
Usia 69 tahun untuk kemerdekaan Indonesia adalah usia yang lebih dari cukup untuk menunjukkan kematangan dan kedewasaan, jika dibandingkan dengan usia manusia. Dan dalam peringatan hari kemerdekaan ini, sepantasnya kita, setiap warga bangsa, berefleksi tentang nasionalisme kita, tanpa mengabaikan nilai-nilai universal kemanusiaan.
Tidak ada gunanya mengkritisi hal-hal yang masih buruk dalam 69 tahun kemerdekaan Indonesia dengan menyalahkan pihak asing. Sebab, banyak hal buruk terjadi pada bangsa kita justru karena melemahnya (atau bahkan hilangnya) nasionalisme pada sebagian warga bangsa. Juga pada yang hanya “mempersoalkan” dasar negara, justru hal-hal buruk terjadi oleh mereka yang mempraktikan perilaku yang tidak sejalan dengan dasar negara.
Kita perlu menegaskan nasionalisme kita untuk peduli dalam membangun identitas kebangsaan melalui sikap dan perilaku mewujudkan landasan kebersamaan (Pancasila). Kita perlu mengembangkan perilaku yang selalu bisa dibenarkan untuk kepentingan bersama sebagai bangsa, dan penghormatan pada kemanusiaan yang universal.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...