Mengapa Pilkada oleh DPRD Harus Ditolak
SATUHARAPAN.COM – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang masa kerjanya tinggal kurang dari sebulan ini tengah membahas rancangan undang-undang (RUU) tentang pemilihan kepala daerah. Dari berbagai diskusi dan pembahasan, arahnya mudah ditebak, menginginkan kepala daerah (gubernur, wali kota dan bupati) dipilih oleh DPRD.
Motif dari perubahan pemilihan langsung oleh rakyat kepada anggota DPR didorong oleh Koalisi Merah Putih yang tampaknya selalu bersikap “tidak” pada pemerintah hasil pemilihan presiden 2014. Sebaliknya suara di kalangan masyarakat justru menuding RUU ini sebagai upaya merampok kedaulatan rakyat.
Jadi, apa alasannya sehingga RUU ini harus ditolak atau pemilihan kepala daerah oleh DPRD ini harus ditolak?
Wakil untuk Kekuasaan Legislatif
Pertama, DPR (D) secara formal adalah wakil rakyat, namun tidak harus diartikan bahwa anggota DPR (D) memiliki legitimasi untuk mewakili rakyat dalam segala hal. DPR (D) adalah wakil rakyat untuk bidang legislasi yang tidak harus diartikan bahwa DPRD juga memiliki legalitas untuk mewakili rakyat dalam memilih kepala daerah.
Bahwa dalam Pancasila disebutkan tentang “permusyawaratan perwaklilan” juga tidak berarti bahwa DPRD yang harus mewakili rakyat dalam memilih kepala daerah. Kedaulatan rakyat juga berarti bahwa rakyat berdaulat untuk memilih sendiri kepala daerah. Maka benar bahwa pemilihan kepala daerah dialihkan lagi kepada DPRD justru berarti merampok kedaulatan rakyat.
Parpol dan Pilkada Mahal
Kedua, alasan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat membuat proses demokrasi itu menjadi mahal, bukan argumentasi yang kuat. Hal ini justru menunjukkan kelamahan partai politik, organisasi di mana penggagas perubahan ini bernaung. Partai politik yang justru harus berubah.
Pilkada menjadi mahal, justru karena partai politik gagal menawarkan kadidat yang berkualitas dan kapasitasnya sesuai kebutuhan rakyat. Kegagalan parpol dalam menemukan kader yang terbaik untuk pilkada, menyebabkan mereka harus habis-habisan bersaing dengan permainan uang. Ini adalah akar pilkada menjadi mahal.
Jadi, kalau pilkada mahal, justru anggota DPR dan DPRD harus bekerja keras untuk pengembangan kader di dalam tubuh partai politik mereka sendiri. Adalah naif untuk mempersalahkan hal ini kepada rakyat. Dan lebih naif, jika solusinya justru dengan merampas wewenang rakyat dalam memilih kepala daerah.
Pilkada yang dilakukan oleh anggota DPR(D) yang jumlah hanya beberapa puluh atau ratus orang itu tidaklah cukup argumentasi untuk dikatakan sebagai pemilihan yang “murah”. Politik “dagang sapi” merupakan hal yang selama ini terjadi dalam tubuh parpol dan parleman dalam banyak hal. Bahkan dalam proses di organisasi partai, politisi di dalamnya pun belum bisa menunjukkan bahwa mereka bisa mengatasinya.
Pilkada oleh DPRD sebagai proses yang murah sebenarnya tidak benar, dan terlalu menyederhanakan persoalan. Sebab, transaksi di antara anggota DPRD dan kandidat, serta partai politik juga bukan hal yang murah. Bahkan ketika sesorang akan maju sebagai kandidat kepala daerah, parpol juga menetapkan “tariff.” Transaksi setelah pemilihan bahkan bisa terus berlanjut.
Jadi, bukan pilkada oleh DPRD yang murah, yang benar adalah bahwa transaksi yang terjadi di antara jkepala daerah dan parpol serta DPRD yang tidak terbuka di publik.
Kepala Daerah Loyal pada Rakyat
Ketiga, sejauh ini kepala daerah yang menunjukkan keberanian untuk melakukan perubahan dan bekerja untuk rakyat justru merupakan hasil dari pilkada secara langsung oleh rakyat. Hal ini menjadi mungkin karena loyalitas pilkada adalah kepada kepentingan rakyat di daerah itu secara keseluruhan, dan bukan pada kelompok elite partai di daerah itu.
Kepala daerah yang berani melakukan perubahan yang tegas, bahkan untuk hal-hal yang selama beberapa dekade gagal dilakukan oleh Pemda sebelumnya, justru karena ada dukungan rakyat. Bahkan yang sering menjadi hambatan kepala daerah yang seperti ini adalah birokrat di Pemda dan politisi yang ada di DPRD.
Keempat, gagasan untuk mengubah pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan sangat mungkin bahwa gagasan otonomi daerah akan makin terhambat pelaksanaannya, karena keterlibatan parpol yang masih sentralistik. Dan motif dari perubahan ini adalah kepentingan di kalangan DPR dan parpol yang frustrasi atas hasil pilpres dan pemilihan legislatif lalu.
Kredibilitas anggota parlemen periode ini yang kurang baik di mata rakyat karena kinerjanya yang buruk, termasuk banyaknya korupsi, menjadikan mereka tidak layak membahas dan mengubah UU tersebut. Apalagi bahwa dalam sisa waktu yang pendek ini mereka “ngebut” membahas sejumlah RUU, mencerminkan dengan jelas motivasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Jadi, pilkada langsung oleh rakyat.
Perayaan Natal di Palestina Masih Dibatasi Tahun Ini
GAZA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal di Palestina tahun ini hanya sebatas ritual keagamaan, mengin...