Apatisme Musuh Demokrasi, Obatnya Partisipasi Inklusif
SATUHARAPAN.COM – Tampaknya tidak banyak yang memberikan perhatian bahwa tanggal 15 September, yang tahun ini jatuh hari Minggu kemarin, adalah hari untuk memperingati demokrasi. Apakah hal ini menandai bahwa demokrasi terabaikan atau berbagai bangsa sibuk dengan demokrasi formal untuk ajang perebutan kekuasaan?
Demokrasi memang selalu disebut sebagai model dalam pemerintahan yang terus dipromosikan di seluruh muka bumi ini sebagai pilihan untuk pemerintahan yang akuntabel. Namun hingga dekade kedua abad ke-12 ini masih banyak negara yang dalam proses demokratisasi jatuh pada gejolak perubahan demografi dan sosial, serta krisis ekonomi yang dramatis.
Hal ini sering terjadi akibat demokrasi hanya sebatas formal, dan belum memasuki substansi. Di Indonesia, pemilihan kepala daerah justru menimbulkan banyak gejolak, bahkan pemerintahan yang dipilih jatuh menjadi pemerintahan yang korup. Persoalannya demokrasi dimaknai sebatas sebagai proses pemilihan oleh rakyat, dan bukan dalam keseluruhan pemerintahan.
Apatisme Musuh Demokrasi
Perserikatan Bangsa-bangsa(PBB) yang menetapkan Hari Demokrasi Internasional itu kali ini mengingatkan pentingnya memperkuat suara masyarakat tentang bagaimana masyarakat diatur. Hal ini terletak di jantung demokrasi,dan bukan sekadar dalam proses pemilihan.
Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, bahkan mengingatkan adanya apatisme masyarakat akibat “demokrasi” yang seperti di atas. Hal ini telah terjadi di Indonesia, di mana apatisme muncul di tengah proses demokrasi yang maknanya dikerdilkan hanya dengan pemilihan pemerintah oleh rakyat.
"…Apatis yang semakin banyak di masyarakat telah menjadi musuh yang paling berbahaya bagi demokrasi," kata Ban Ki-moon di New York, hari Minggu. Dalam konteks Indonesia, gejala ini semakin nyata, apalagi korupsi di pemerintahan terus merajalela, dan pemerintah yang ada lembek sekali dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial.
Distori Makna Demokrasi
Persoalannya memang bukan terletak pada demokrasinya sendiri, tetapi justru oleh distorsi pemaknaan demokrasi. Partisipasi rakyat hanya beberapa menit di bilik suara, dan selebihnya diabaikan. Bahkan pemerintah yang dipilih melalui proses demokrasi menjalankan pemerintahan dengan cara-cara yang tidak mengindahkan nilai-nilai demokrasi. Hal ini terlihat dari banyaknya praktik diskriminasi dan penindasan terhadap kelompok minoritas.
Apa obat untuk mengatasi itu? Ban Ki-moon menyebutkan, “Partisipasi Inklusif adalah obatnya.” Inklusivitas ini bukan tujuan, melainkan upaya mempersiapkan masyarakat dan seluruh komponen dalam negara untuk mengatasi perbedaan pandangan, menempa kemampuan untuk kompromi dan menemukan solusi, serta terlibat dalam kritik dan musyawarahyang konstruktif.
Untuk Masa Depan Bersama
Partisipasi Inklusif justru membantu masyarakat mengembangkan berbagai bentuk fungsi demokrasi bagi pemerintah, perusahaan dan masyarakat sipil.
"Saya mengajak para pemimpin untuk mendengarkan, menghormati dan merespons dengan tepat terhadap suara rakyat… juga warga dunia untuk memikirkan bagaimana mereka menggunakan suara bukan hanya untuk nasib mereka, tetapi untuk menerjemahkan keinginan mereka dan keinginan orang lain untuk masa depan yang lebih baik bagi semua,” kata Ban dalam pernyataannya.
Dia juga mengajak kita untuk berbicara, berpartisipasi, dan menjangkau untuk memahami mereka yang lebih lemah, lebih rentan , karena semua orang memiliki kepentingan yang sama untuk masa depan bersama.
Pesan ini sangat relevan bagi Indonesia, untuk meluruskan kembali semangat reformasi yang pada hakikatnya juga demokratisasi. Sebab, banyak hal telah melenceng, dan menjadikan demokrasi untuk adu kekuatan sehingga menginjak-injak hak asasi manusia.
Editor : Sabar Subekti
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...