APERSI: 60 Juta Rakyat Indonesia Tuna Wisma
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Potensi ledakan jumlah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang tidak memilili rumah layak huni diperkirakan bakal mencapai enam puluh juta jiwa.
Menurut Ketua DPP Asosiasi Pengembangan Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Eddy Ganefo, potensi tersebut semakin melukiskan wajah buram MBR yang terbelit dalam ketidaklayakan hidup.
“Padahal permukiman merupakan salah satu dasar kebutuhan masyarakat saat ini,” kata Eddy dalam pesan tertulisnya kepada satuharapan.com, di Jakarta, Senin (29/9).
Eddy menjelaskan, rumah dan permukiman yang tidak layak hunian di kawasan kumuh (slum area) dan daya beli masyarakat rendah secara tidak langsung akan semakin membebani warga produksif.
Permukiman, lanjut Eddy, tidak hanya berupa rumah tinggal tetapi juga sarana, prasarana, dan fasilitas yang layak di lingkungannya, baik infrastruktur jalan, jembatan, drainase, penerangan, dan air bersih.
“Serta aksesbilitas ke kawasan ekonomi,” kata dia.
Kepemilikian atas pemukiman merupakan hak asasi dari setiap warga negara, baik yang hidup di perkotaan maupun di pedesaan merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakan akses kepada masyarakat untuk dapat memperoleh permukiman yang layak huni, aman, nyaman, damai, sejatera, berbudaya, dan berkeadilan sosial.
“Ini merupakan kewajiban pemerintah terhadap warga negaranya,” kata dia.
Menurut Eddy, ketidak berdayaan pemerintah untuk mengemban tanggungjawab memenuhi hunian yang layak bagi rakyatnya setidaknya disebabkan oleh adanya tujuh hambatan utama yang menyulitkan MBR mendapat hunian layak.
Pertama keterbatasan lahan untuk pembangunan perumahan bagi MBR, kedua hambatan hukum dan peraturan perundang-undangan, ketiga hambatan yang datang dari pengembang.
“Dimana manajeman kebijakan pengembangan perumahan cenderung berorientasi pada pembangunan rumah komersil yang dapat mengeliminasi hak MBR,” kata dia.
Kemudain yang keempat, lanjut Eddy ada juga hambataan politik yakni, kurangnya komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan kebijakan pengembangan perumahan untuk MBR, kelima, hambatan distribusi, dan dimana aksesbilitas MBR ke pasar perumahan masih sangat terbatas, keenam hambatan dana.
“Yakin skema pembiayaaan perumahan belum efektif menyentuh persoalan dalam usaha membuka akses MBR untuk memiliki rumah,” kata dia.
Terakhir hambatan Sumber Daya Manusia (SDA), dimana pemegang kebijakan perumahan rakyat tidak menjiwai ruh dari perumahan untuk rakyat.
“Padahal ini salah satu program utama pemerintah,” katanya.
Eddy berharap pemerintah ke depan dengan presiden baru akan lebih serius dalam melaksanakan tanggung jawabnya dalam menyediakan hunia layak bagi masyarakat.
“Saya berharap Pak Jokowi sebagai presiden akan lebih serius dalam menangani persoalan ini. Apa lagi beliau sudah berpengalaman menyelesaikan persoalan MBR di Jakarta, semoga ini bisa menukar ke daerah lain di seluruh Indonesia,” katanya.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...