Apindo: Indonesia Harus Rebut Industri Ringan dari Tiongkok
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Indonesia harus mampu merebut industri ringan (light industries) seperti yang dilakukan Tiongkok, karena industri ini lebih kurang padat modal dan cenderung padat karya yang menyerap tenaga kerja banyak.
“Ada potensi yang akan hengkang dari Tiongkok, ada potensi yang harus kita rebut yakni industri ringan yang berpotensi ekspor sebesar 300 miliar dolar AS yang sudah tidak kompetitif di Tiongkok dan harus pindah,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Anton Joenoes Supit pada Dialog Investasi bertema Investasi Sebagai Penggerak Ekonomi di Tengah Perlambatan yang berlangsung Ruang Nusantara, Lantai 1 Gedung Suhartoyo Kompleks Badan kooridnasi Penanaman Modal (BKPM), Jl. Jend. Gatot Subroto No.44 Jakarta, Selasa (12/5).
Anton menyebut Tiongkok sudah tidak terlalu mengandalkan lagi industri ringan dan seharusnya kesempatan tersebut diambil karena industri tersebut akan menjawab tantangan ekonomi Indonesia, dalam menampung tenaga kerja dan menghasilkan devisa.
“Apabila banyak tenaga kerja terserap, pengangguran berkurang dan otomatis pertumbuhan ekonomi dapat signifikan dan cepat,” Anton menambahkan.
"Kita berharap nantinya akan ada kepala daerah yang mau dan mampu menyanggupi tantangan untuk membuka light industries, kalau saya melihat di Jawa Tengah itu sangat potensial. Gubernurnya (Ganjar Pranowo) masih sangat muda dan orangnya sangat terbuka dengan perubahan, sementara di sisi lain banyak tenaga kerja usia muda yang potensial, kami berharap ini dapat direalisasikan karena tanpa investasi masuk akan sulit pertumbuhan ekonomi,” dia menambahkan.
Dalam hubungannya dengan perekonomian nasional, Anton menyebut bahwa pemerintah saat ini seolah lupa dengan kewajiban memperhatikan kesejahteraan rakyat.
“Kita lihat di negara Eropa dan Amerika kenapa mereka bisa disebut welfare state, karena masalahnya adalah bagaimana mereka mensejahterakan rakyat setinggi mungkin. Cara yang paling efektif untuk mengentaskan kemiskinan adalah memberi lapangan kerja, oleh karena itu kita harus memiliki grand design investasi seperti apa yang kita butuhkan, yaitu investasi yang mendorong penyerapan lapangan kerja,” Anton menambahkan.
Pada dasarnya investasi di Indonesia saat ini berkembang dengan baik, namun Anton menyadari sejak dikenalnya era otonomi daerah, banyak kepala daerah kurang pham tentang investasi dan harus ada perubahan paradigma yang tepat dalam investasi di berbagai daerah.
“Kepala daerah ada yang beranggapan kalau kita memberi kesempatan investor berusaha maka hanya akan menguntunkan pengusaha itu saja, padahal dia (kepala daerah) nggak tahu kalau bisa perekonomian itu berkembang dan menguntungkan,” Anton menambahkan.
Dalam persaingan para investor, Anton menganggap hal tersebut perlu untuk menunjang pertumbuhan ekonomi.
Anton menyebut seperti yang direkomendasikan World Economic Forum bahwa setidaknya ada 12 pilar daya saing, yaitu: institusi, infrastruktur, makroekonomi, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan tinggi, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pasar keuangan, kesiapan teknologi, ukuran pasar, kecanggihan bisnis, dan inovasi.
Selanjutnya ke 12 pilar itu dikelompokkan ke dalam 3 kelompok pilar, yaitu: kelompok persyaratan dasar (Basic Requirements), kelompok penopang efisiensi (Efficiency Enhancers), dan kelompok inovasi dan kecanggihan bisnis (Innovation and Sophistication Factors).
“Kalau kita tidak punya hal-hal ini kita tidak kompetitif, kalau suatu negara tidak memiliki competitiveness ya kita tidak akan berkembang,” dia menambahkan.
Editor : Eben Ezer Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...