Loading...
RELIGI
Penulis: Ignatius Dwiana 20:12 WIB | Senin, 05 Agustus 2013

Arab Ateis Merangkak Keluar dari Persembunyian

Rafat Awad, seorang ateis Palestina. (Foto Times of israel)

SATUHARAPAN.COM – Menyatakan diri menjadi ateis itu hal langka di dunia Arab yang mayoritas Muslim. Tetapi minoritas kecil ini mengambil langkah-langkah kecil untuk muncul dan bersuara.

Rafat Awad sungguh-sungguh mengajarkan Islam di universitasnya, mendorong teman-temannya untuk membaca al Qur'an dan berdoa. Tetapi seiring waktu, apoteker muda kelahiran Palestina ini memiliki keraguan yang menggerogoti. Semakin dia mencoba untuk mengatasinya, semakin keraguan berkembang.

Akhirnya dia mengatakan kepada kedua orang tuanya dirinya ateis padahal orang tuanya adalah Muslim yang taat. Orang tuanya kemudian membawa ulama ke rumah untuk berbicara dengan Rafat Awad, tetapi sia-sia mencoba membawanya barbalik kepada iman. Akhirnya, kedua orangtuanya menyerah.

"Ini adalah efek domino. Kamu menekan tombol pertama kalinya dan itu terus terjadi dan berjalan," kata Rafat Awad, 23 tahun, yang tumbuh di Uni Emirat Arab dan tinggal di sana. "Saya pikir: Ini tidak masuk akal lagi. Saya menjadi manusia baru. "

Ateis yang menyatakan dirinya dengan terbuka itu hal langka di dunia Arab yang merupakan tempat seluruh mayoritas Muslim sangat konservatif. Hal ini secara sosial ditoleransi agama tidak secara aktif, keputusan untuk tidak berdoa atau melakukan bentuk tindakan lain dari iman, atau memiliki sikap sekuler. Tetapi untuk langsung menyatakan diri ateis dapat menyebabkan pengucilan dari keluarga dan teman-teman, dan jika terlalu publik dapat menarik pembalasan dari Islam garis keras atau bahkan penguasa.

Namun, minoritas kecil ini telah mengambil langkah-langkah kecil keluar dari bayang-bayang. Grup di jaringan media sosial mulai muncul pada pertengahan 2000-an. Sekarang, musim semi Arab yang mulai pada awal tahun 2011 telah memberikan dorongan lebih lanjut: memabukkan suasana revolusi dengan ide-ide kebebasan berbicara yang lebih besar dan mempertanyakan tabu lama yang dipegang untuk dibuka.

Seorang insinyur Mesir 40 tahun, terlahir sebagai Muslim, mengatakan dia telah lama menjadi ateis tetapi merahasiakannya secara diam-diam. Pemberontakan tahun 2011 di Mesir dan seruan untuk perubahan radikal mendorongnya melihat secara online tentang orang lain seperti dirinya.

"Sebelum revolusi, saya tinggal dalam kesendirian hidup total. Saya tidak tahu siapa saja punya keyakinan seperti saya, "katanya. "Sekarang kami harus lebih berani daripada sebelumnya."

Kasusnya menggambarkan batasan seberapa jauh seorang ateis dapat bergerak. Seperti kebanyakan orang lain yang berbicara tentang kondisi anonimitas karena takut akan pembalasan, pelecehan, atau masalah dengan keluarganya. Dia go public dengan online.

Bahkan internet tidak sepenuhnya aman. Di sebagian besar negara-negara Arab, menjadi ateis tidak dengan sendirinya ilegal, tetapi sering dikenakan tuduhan pasal penghinaan agama.

Demikian pula Waleed al Husseini, ateis Palestina ini ditangkap pada tahun 2010 di kota Qalqilya di Tepi Barat karena diduga mengejek Islam di internet. Dia ditahan tanpa tuduhan selama beberapa bulan, dan setelah dibebaskan lalu dia melarikan diri ke Perancis.

Namun, ruang online terus berkembang. Ada 60 grup ateis Facebook berbahasa Arab. Lima di antaranya dibentuk sejak musim semi Arab. Mereka berkisar dari “Atheists of Yemen” dengan hanya 25 pengikut, hingga “Sudanese Atheists” dengan 10.344 pengikut. “Arab Atheist Broadcasting” menghasilkan klip YouTube pro ateisme. Ada kelompok tertutup, seperti klub kencan ateis di Mesir.

Beberapa menarik komentar negatif yang kuat. Satu responden, menyebut dirinya Sam, menyatakan bahwa menyerang Islam telah menjadi tiket pesawat termurah ke Eropa. Ini sebuah rujukan bagi mereka yang ingin melarikan diri dari tanah air Muslim mereka.

Tidak mungkin untuk mengetahui jumlah ateis di dunia Arab, mengingat kerahasiaan jati diri mereka. Tidak jelas apakah aktivitas online semakin mencerminkan peningkatan jumlah atau lebih banyak muncul dari isolasi saja. Lebih dari selusin wawancara dengan ateis menyebutkan baik peningkatan jumlah atau lebih banyak muncul dari isolasi. Dalam kasus apa pun, ateis tetap menjadi minoritas kecil. Pemberontakan Musim Semi Arab memicu perdebatan di kawasan itu tentang peralihan peran agama dalam masyarakat dan politik, bahkan aktivis sekuler dengan cepat membedakan diri dengan ateis.

Naiknya kekecewaan pasca revolusi Islam menuntut pelaksanaan ketat aturan agama tetapi juga mendorong beberapa untuk menilai kembali keyakinan mereka, seperti Fadwa, seorang perempuan Tunisia berusia 18 tahun, dari agnostik beralih ke ateis.

"Sebelum revolusi, orang tidak melihat Islam sebagai masalah, tetapi setelah revolusi, mereka melihat apa itu Islam politik dan apakah Islam itu," katanya.

Dia bilang dia sekarang terlibat dalam kelompok online dan berbicara dengan teman-temannya di universitas tentang menjadi seorang ateis. Tetapi dia khawatir hal buruk bisa terjadi, seperti menjadi target sebagai orang murtad yang meninggalkan Islam.

Beberapa teolog Muslim mengatakan murtad itu pelanggaran berat, tetapi tidak ada yang mengetahui seseorang telah meninggal beberapa kali dalam keadaan menjadi ateis. Ulama lainnya mengatakan ateis hanya boleh dihukum jika mereka menyebarkan keyakinan ateisme-nya. Namun yang lain mengatakan ateis murtad harus ditoleransi, mengutip ayat al Qur'an, "Tidak boleh ada paksaan dalam hal agama."

Kebanyakan ahli agama membedakan antara seseorang yang memiliki pendapat, dan lain-lain yang mengganggu kedamaian masyarakat dengan menyebarkan pandangan mereka menurut teolog Muslim Mustafa Abu Sway yang tinggal di Yerusalem.

Bahkan yang lebih berat tanggungan sosialnya. Menyatakan diri ateis dapat berarti berpisah dari keluarga dan teman-teman dan jaringan yang menentukan seluruh kehidupan sosial seorang Muslim.

Tempat-tempat online memberikan mereka ruang mempertanyakan keyakinan mereka melalui proses traumatis itu. Banyak yang menggambarkan tahun depresi dan isolasi. Para ateis yang diwawancarai mengatakan akses online untuk orang yang berpikir terbuka memberi mereka keberanian. Semua mengatakan mereka terkejut menemukan bekas-bekas Muslim di luar
sana. Mereka juga mengatakan membaca artikel online ateis Barat terkemuka seperti Richard Dawkins dari Inggris yang mendorong mereka dalam proses waktu.

Teolog Abu Sway mengatakan dia tidak melihat kemungkinan ateisme akan menyebar di antara komunitas Muslim. Apa yang terjadi hari ini adalah “fase daripada posisi yang serius,” katanya. "Ini bisa menjadi ekspresi ketidakpuasan dengan lembaga-lembaga tradisional. Kami tidak memiliki jenis Richard Dawkins. Kami tidak memiliki saingan serius dari kami sendiri. Ini bukan sesuatu yang sistematis. "

Mohammed, seorang Mesir berusia 26 tahun, mengatakan keluarganya masih tidak tahu bahwa dia menganggap dirinya seorang ateis, meskipun dia telah terlibat dalam beberapa forum Arab ateis online sejak awal.

"Ada orang yang mengatakan kami harus berani dan berbicara. Itu hanya berbicara saja, "kata Mohammed. "Aku dapat berjuang untuk mengatakan apa yang saya pikirkan, tetapi aku tidak akan dapat tinggal dengan keluargaku."

Dia mengatakan dia dulu pemuda saleh, tetapi sebagai remaja tumbuh kebingungan tentang pertanyaan apa Allah mengijinkan kehendak bebas. Kehendak bebas merupakan topik perdebatan dalam teologi Islam. Bersamaan dengan ranah ilmu pengetahuan, imannya menjadi terurai, katanya.

"Aku tidak bisa mengendalikan pikiranku lagi. Aku mulai terbagi menjadi dua, antara otak dan imanku, "katanya.

Timur Tengah ini pernah menjadi tempat yang lebih toleran untuk mempertanyakan agama. Pada tahun 1960 dan 1970-an, kaum kiri sekuler secara politik dominan. Mempertanyakan agama bukan sesuatu yang  mengejutkan  untuk  mengungkapkan agnostisisme. Bahkan ada beberapa ateis vokal, termasuk Abdullah al Qusseimi, seorang penulis Saudi yang meninggal pada tahun 1990 dan dihormati orang-orang Arab yang meninggalkan agama Islam.

Tetapi kawasan ini tumbuh menjadi lebih konservatif mulai tahun 1980-an, Islam menjadi lebih berpengaruh, dan militan mengecam apa pun tanda-tanda kemurtadan.

Mungkin pendulum berayun kembali, kata Waleed al Husseini, ateis Palestina sekarang di Perancis.

"Saya merasa banyak orang takut, tetapi sekarang mereka melihat ada orang-orang seperti mereka. Mereka menemukan keberanian, "katanya. "Mereka ada di internet – mereka mungkin memakai nama palsu, tetapi mereka ada."

Editor : Yan Chrisna


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home