AS Rangkul Kuba, Strategi Pertahankan Status Super Power
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Akademisi Kajian Amerika dari Universitas Indonesia, Suzie Sudarman, memandang, selain untuk menciptakan perdamaian, dibukanya kembali hubungan diplomatik antara Amerika Serikat (AS) dan Kuba merupakan strategi AS untuk mempertahankan posisi super power.
Namun, saat ini AS sedang dihadapkan pada kondisi kelangkaan uang di negaranya sendiri akibat utang yang tersebar di banyak negara, seperti Tiongkok, Jepang dan negara lainnya, melalui surat utang pemerintah. "(AS) dipinjami uang. Tiga per empat utang AS menjadi beban Tiongkok,” ujarnya Suzie.
Kondisi itu tentu membuat AS kelimpungan. Status super power atau adikuasa yang lama disandang Negeri Paman Sam selama puluhan tahun tersebut, kini, dipertanyakan oleh dunia.
Suzie menjelaskan, untuk menyesuaikan keadaan tersebut, Presiden AS, Barak Obama, mengusung tiga pilar dalam pemerintahannya. Pertama, perubahan hubungan dengan negara-negara Asia yang mulai besar. Kedua, tatanan global baru yg bercirikan non-proliferasi nuklir, dan ketiga kerangka pemikiran Obama menyangkut hubungannya dengan negara-negara Islam.
“Sekalipun ini tidak menyangkut Kuba secara langsung, pada keseluruhannya, Obama berusaha menyesuaikan posisi AS pada dunia yang sudah berubah. Karena posisi tersebut tidak pernah berubah sejak 70 tahun,” kata Suzie kepada satuharapan.com Rabu (20/5).
Obama ingin pikirannya tersebut bisa berjalan dengan lancar, namun kini ia melihat kenyataannya bahwa idealisme tidak semudah itu diwujudkan.
“Dia pikir melalui bicara dengan Orang Arab, masalah Palestina bisa selesai. Ditemui oleh rajanya saja enggak, apalagi bicara soal Palestina. Jadi dia terantuk-antuk,” ungkap Suzie. Ia melihat, Obama tidak mengerti bahwa dunia itu isinya orang-orang baik yang bisa dijawil, lalu ikut dengannya.
“Belum lagi dia (AS) menghadapi tekanan dalam negeri, sebagai kenyataan demokratis. Artinya tidak semua menjunjung tinggi presidennya. Sekalipun presidennya terpilih secara mayoritas, tapi ada kelompok-kelompok yang tidak cocok dengan pendekatannya tersebut,” tambahnya.
Kegagalan AS itu telah diakui negara lain, termasuk Swedia dan Norwegia. Intervensinya terhadap persoalan di Timur Tengah pun, Suzie menilai, tak tampak manfaatnya.
“Kelihatan sekali dia (AS) kedodoran walaupun cita-citanya tinggi. Jadi sekarang pilihan hegemoni struktur internasional mau bagaimana. Mau tetap seperti dulu dengan harga mahal atau mau mengubah tapi terantuk-antuk. Dalam arti, kenyataannya, dunia tak mudah diubah karena sudah ada negara-negara yang ngotot tidak bisa diubah,” kata Suzie.
Melihat kondisi tersebut, Obama tidak berhenti berpikir demi mendapatkan kembali pengakuan dunia terhadapnya sebagai Presiden Negara Adikuasa. Lantas ia melirik Kuba, negara tetangga dekatnya itu, sebagai potensi untuk menarik perhatian dunia akan peran positif AS.
“Kalau dia (Obama) berhasil dalam Kuba ini, dia akan cukup tercatat sebagai negarawan yang pembawa damai,” jelas Suzie.
“Maunya dibawa (ke arah) itu. Sebab, dia kan tidak berhasil membawa damai di Tunisia, Libya, Suriah, Mesir, Palestina, Ukraina. Satu-satunya, ya, cobalah ini (Kuba) didekati,” ia menambahkan.
Selain demi pengakuan dunia terhadap peran AS dalam menciptakan perdamaian dunia, negara tersebut juga tidak merasa rugi bila berhasil menggandeng Kuba, mengingat prestasi Kuba dalam bidang kedokteran melalui temuan vaksin kanker paru-paru.
“Ada hal-hal yang dibutuhkan AS sekarang. Pertama, (pengakuan) Presiden AS menciptakan perdamaian, dan bisa penyembuhan penyakit kanker paru-paru,” ujar Suzie. Ia melanjutkan, orang AS suka kalau negerinya terhormat, juga terhormat karena masalah kesehatan diatasi presidennya.
Dibukanya kembali hubungan diplomatik ini tentu mendapat respons positif dari Kuba. Suzie menilai bahwa inilah waktu yang tepat untuk menjalin kembali relasi yang rusak selama 50 tahun terakhir.
Tak dipungkiri juga, Kuba tentu akan mendapat keuntungan dari keputusannya menjalin hubungan dengan negara kapitalis AS, melalui sektor pariwisata, ekspor dan impor produk Kuba, seperti rum dan cerutu.
“Keduanya mendapat untung. AS mau mengambil antivirus kanker paru-paru, sebagai kemenangan, sebab belum ada antivirus itu. Lalu Raul Castro juga membutuhkan aksi untuk meningkatkan teknologi, perdagangan, dan memperkenalkan Kuba pada dunia yg lain. Itu benefiting,” ujar Suzie.
Editor : Eben Ezer Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...