Bagaimana Sikap Intelegensia Kristen Menghadapi MEA?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Tahun 2016 menjadi tahun diberlakukannya Asean Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang merupakan sebuah bentuk integrasi ekonomi negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara.
Meskipun merupakan bentuk penyatuan ekonomi di Asean, namun MEA akan berdampak luas di berbagai dimensi kehidupan. Sebab, integrasi ini disandarkan kepada tiga pilar, yakni politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Berangkat dari kondisi tersebut, Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (P3M FISIPOL) Universitas Kristen Indonesia (UKI) bersama Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) menyelenggarakan focused group discussion (FGD) bertema ‘Asean Community: Strengthening State Capacity and Engaging Civil Society’.
P3M FISIPOL UKI bersama PIKI mencoba mengupas upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam menghadapi MEA dan langkah yang harus di tempuk masyarakat Tanah Air agar dapat terlibat dan meningkatkan kapasitasnya.
Kesempatan atau Tantangan?
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PIKI bidang Hubungan Luar Negeri, Partogi Samosir, menyatakan MEA tidak bisa mengubah kehidupan masyarakat Indonesia secara drastis dan tiba-tiba. Dia menyebutkan, ada tiga kata kunci yang dapat digunakan masyarakat Indonesia dalam menghadapi MEA, yakni waspada, determinasi, dan optimis.
Menambahkan, Wakil Ketua Umum PIKI, Badikenita Putri, mengatakan MEA menjadi kesempatan yang baik bagi Indonesia. Karena, hambatan perdagangan akan cenderung berkurang, bahkan menghilang. Dampaknya, menurutnya, Indonesia akan mengalami peningkatan ekspor hingga akhirnya ikut meningkatkan produk domestik bruto (PDB).
Namun, dia mengingatkan, akan muncul tantangan baru bagi Indonesia, yakni berupa masalah homogenitas komoditas yang diperjualbelikan. Contohnya, kata dia, komoditas pertanian, karet, produk kayu, tekstil, dan barang elektronik.
“Dalam hal ini, risiko kompetisi akan muncul dengan banyaknya barang impor yang akan mengalir dalam jumlah banyak di Indonesia dan mengancam industri lokal untuk bersaing dengan produk luar negeri dalam masalah kualitas,” kata Badikenita yang menjadi pembicara dalam FGD tersebut, di Ruang Serbaguna FISIPOL UKI, Jakarta Timur, hari Senin (21/3).
“Ini akan meningkatkan defisit neraca perdagangan bagi Indonesia sendiri,” dia menambahkan.
Aspek Ketenagakerjaan
Badikenita pun sempat menyoroti aspek ketengakerjaan. Menurutnya, jumlah lapangan kerja yang lebih banyak tersedia membuka kesempatan bagi para pencari kerja. MEA juga menjadi kesempatan yang baik bagi para wirausahawan Tanah Air untuk mencari pekerja terbaik sesuai dengan kriteria yang diinginkan.
Namun masalahnya, kata dia, kualitas tenaga kerja yang ada di Indonesia masih sangat rendah. Berdasarkan data World Economic Forum (WEF) tahun 2010, peringkat daya saing tenaga kerja di Indonesia menduduki peringkat 44, di bawah Malaysia, Singapura, dan Thailand.
“Rendahnya kualitas tenaga kerja dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Banyak masyarakat Indonesia yang merasa dengan bekal pendidikan SMA sudah cukup untuk memasuki dunia kerja,” ucap Badikenita.
Masalah lain bagi tenaga kerja di Indonesia adalah, kata dia, kurang percaya diri berhadapan dengan tenaga kerja asing. Menurutnya, sikap ini harus diperbaiki agar masyarakat Indonesia mampu bersaing dengan tenaga kerja asing dalam MEA.
Keamanan Nasional
Sementara itu, Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIPOL UKI, Sri Yunanto, menyoroti kerja sama negara anggota Asean dalam memerangi dan menanggulangi aksi terorisme di kawasannya. Menurut dia, belum terlihat keseriusan di MEA untuk menjaga keamanan dari aksi terorisme.
Dia menyebutkan, ada tiga kategori dalam dalam terorisme di Asean, yakni aman, terancam tapi tidak terserang, dan terserang.
“Negara aman itu seperti Brunei Darussalam dan Myanmar, terancam tapi tidak terserang itu seperti Malaysia dan Singapura, sementara negara yang terserang itu seperti Indonesia, Thailand, dan Filipina,” ucap dia.
Peran Intelegensia Kristen
Kemudian, Ketua DPP PIKI bidang Kerja Sama Antar-Organisasi, Edy Siswoyo, mengatakan ada empat peran yang dapat dilakukan intelegensia Kristen dalam MEA. Misalnya, kata dia, dengan menerapkan kurikulum nasionalisme dan Pancasila.
Dia menambahkan, intelegensia Kristen juga harus terlebihan dalam pembentukan karakter, melalui tulisan di buku atau artikel. “Melalui organisasi, intelegensia Kristen bisa menggodok kembali nasionalisme dan kebudayaan nasional,” ujar dia.
Dia juga menyatakan intelegensia Kristen juga harus meningkatkan kerja sama dengan pemerintah, gereja, hingga masyarakat sipil.
“Sebuah komunitas dinamis dan harmonis yang sadar dan bangga identitas, budaya, dan warisan dengan kemampuan diperkuat untuk berinovasi dan proaktif berkontribusi global,” tutur Edy.
Editor : Eben E. Siadari
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...