Bank Dunia Ingatkan Ekonomi Global Masih Rentan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Bank Dunia mengingatkan kondisi ekonomi global saat ini masih lemah dan rentan sehingga berpotensi semakin bergejolak atau kurang stabil.
"Satu-satunya mesin pertumbuhan ekonomi global adalah ekonomi Amerika Serikat, sedangkan Eropa masih berjuang untuk memulihkan diri dan sekarang menghadapi risiko penurunan tambahan karena munculnya `brexit` dan krisis pengungsi yang masih berlanjut," kata Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati, dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, hari Sabtu (5/3).
Brexit adalah wacana keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Selain itu, ujar dia, Jepang juga masih berlanjut dengan pertumbuhannya yang lemah, antara lain karena dilonggarkan kebijakan moneter mereka dan penerapan suku bunga negatif.
Begitu pula halnya dengan kondisi negara-negara berkembang yang selama dekade terakhir menjadi mesin pertumbuhan global, pada saat ini masih menunjukkan kinerja yang tidak optimal.
"Brasil dan Rusia sedang resesi dan pertumbuhan China melambat. Perdagangan global tidak beranjak naik dan pertumbuhan produktivitas tetap lemah," kata mantan Menteri Keuangan RI itu pula.
Permasalahan kedua yang harus dihadapi, lanjutnya, adalah harga komoditas yang akan tetap rendah karena pasokan minyak tetap tinggi dan permintaan akan komoditas tersebut diperkirakan tidak bakal meningkat dengan segera.
Hal tersebut mengakibatkan persoalan, seperti 30 persen warga miskin dunia yang hidup di negara-negara pengekspor minyak dunia akan terkena dampak, karena anggaran negara-negara tersebut menurun dan berpotensi memotong pengeluaran pos kesejahteraan sosial dan pos anggaran lainnya yang dinilai pro-kaum miskin.
Permasalahan ketiga adalah perubahan iklim yang berpotensi menciptakan 100 juta orang miskin baru, karena gejala iklim seperti El Nino (kekeringan) yang terparah terjadi sejak akhir tahun 1990-an melanda beragam kawasan, seperti di Afrika Timur dan Selatan, Amerika Tengah, dan Karibia.
Akhirnya, ujar dia, permasalahan situasi geopolitis yang semakin tegang dan bertambah konflik juga menciptakan kekurangstabilan tambahan yang menghasilkan sekitar 60 juta orang diperkirakan terpaksa pindah atau mengungsi dari berbagai negara yang mereka tinggali selama ini.
Belum lagi konflik dan tindakan penzaliman yang terus berlanjut dapat mengikis kohesi sosial bagi keseluruhan masyarakat, dan pada gilirannya juga mengakibatkan stagnasi ekonomi.
Karena itu, Sri mengemukakan agar setiap negara dapat menciptakan fondasi yang lebih kuat untuk mengatasi guncangan dan volatilitas seperti perlambatan ekonomi, risiko kesehatan dan bencana alam.
"Anda semua menyadari debat mengenai ketimpangan pendapatan. Kami percaya disparitas pendapatan adalah hasil dari ketimpangan kesempatan. Itulah kenapa akses kepada layanan dasar yang baik dan berkualitas adalah tugas inti bagi kita semua, mengingat hal itu membantu menyamakan kesempatan seluruh warga dan mengatasi siklus kemiskinan," ujar dia.
Sri Mulyani juga menegaskan, kebijakan makroekonomi yang bagus memang diperlukan untuk pengembangan ekonomi, tetapi hal itu tidak cukup karena diperlukan langkah lainnya seperti menyadari faktor spesifik yang membuat ekonomi suatu negara lebih kompetitif, meningkatkan produktivitas, serta membangun lembaga yang kuat dan efektif.
Penyebabnya karena pertumbuhan tanpa tata kelola pemerintahan yang baik dan akuntabilitas tidak akan berkelanjutan, katanya.
Bank Dunia, lanjutnya, meyakini ada korelasi yang positif antara kualitas kelembagaan dan kemakmuran suatu negara.(Ant)
Editor : Eben E. Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...