Belajar dari Payung Papa
SATUHARAPAN.COM – Dua bulan setelah Papa meninggal, saya membantu Mama membereskan barang-barang Papa. Mama menangis melihat banyaknya koleksi Papa. Ada koleksi koin, foto, kertas, payung, dan masih banyak lagi. Mama berkata, ”Untuk apa semua ini?”
Kenangan akan Papa pun membanjir kembali. Kalau hujan atau gerimis Papa selalu memakai payung yang jelek; ternyata Papa mempunyai beberapa payung bagus. Setelah Papa tiada, siapa yang berani memakainya?
Saya belajar, belum tentu apa yang saya anggap berharga sama nilainya di mata anak-anak saya kelak. Papa mungkin berharap apa yang dikumpulkannya berharga di mata anak-anaknya, namun harapan tinggal harapan. Dan hal yang sama bisa menimpa saya.
Saya bekerja mencari uang, mengumpulkan uang, berharap bisa memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anak. Apakah itu cukup? Apakah saya perlu memberikan rumah, modal untuk anak saya nanti, dan apakah itu cukup? Apakah kerja keras saya akan sama nilainya di mata mereka?
Hari itu saya pulang dengan cara pandang baru: saya mengasihi anak-anak saya, tetapi masa depan mereka ada di tangan Tuhan. Saya tidak perlu khawatir akan apa yang akan mereka hadapi. Mereka memiliki tantangannya sendiri.
Malam itu saya kembali teringat bagaimana Papa mengajari saya bermain layang-layang, mengajak saya memancing, dan mengajari saya bersiul yang hingga kini belum mampu saya lakukan. Saya bisa merasakan kasihnya. Tetapi, andai beliau masih ada, saya akan berkata, ”Papa, pakailah payung yang bagus karena semua barang itu tidak ada artinya jika tidak dipakai, dan saya sudah memilikinya.”
email: inspirasi@satuharapan.com
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...