Belajar Makna Hidup Dari Membonceng Motor
SATUHARAPAN.COM – Hari ini aku membonceng sepeda motor anggota Majelis gerejaku. Kami sedang menuju sebuah tempat pertemuan sejauh 120-an km. Berada di boncengan memang enak karena kita tak perlu menarik gas, tak perlu menginjak rem, serta tak perlu berpikir belok kanan atau kiri. Tinggal duduk tenang dan… sampai ke tujuan. Seharusnya memang demikian. Namun tidak bagiku.
Berada di boncengan justru membuatku merasa tak nyaman. Setiap kali Bapak yang mengemudikan motor sedikit ngebut, ada rasa khawatir—takut tergelincir—dalam diriku. Ketika harus melampaui kendaraan lain—apalagi kendaraan besar seperti bus atau truk—aku merasa ngeri sendiri meski sering melakukannya. Bahkan, tanpa sadar mulutku terus mengingatkan Sang Pengendara agar hati-hati.
Menjadi pembonceng sepeda motor memberi banyak pelajaran. Betapa diri lebih suka mengemudikan motor sendiri. Aman, nyaman, dan tenang rasanya saat diri mampu mengendalikan kendaraan. Mau belok ke mana pun terserah kita, mau kecepatan berapa terserah kita, Nah, ketika menjadi pembonceng, kita harus belajar mempercayakan diri kepada Sang Pengendara. Mau lewat sisi mana terserah dia, mau lewat jalan mana juga terserah dia, mau cepat atau lambat juga terserah dia. Bukan kehendak kita yang utama, melainkan kehendak Sang Pengendara..
Begitu juga ketika kita hidup bersama Tuhan. Bukan lagi kita yang mengendalikan jalannya hidup, melainkan Dia. Mau lewat sisi mana kehidupan kita dibuat-Nya, terserah Dia. Mau secepat apa jalannya hidup kita, Dialah yang menentukan. Bahkan, ketika kita merasa jalan kita salah, Dia sungguh-sungguh tahu jalan yang terbaik bagi kita.
Karena itu, mari kita percayakan diri kepada Sang Pengendara Sejati. Percaya deh... tak akan nyasar hidup kita.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...