Belajar untuk Tidak Sakit Hati
SATUHARAPAN.COM – Kami mempunyai pembantu rumah tangga—sepasang suami isteri dengan dua anak yang telah empat tahun bersama kami. Mereka sudah kami anggap bagian keluarga kami. Anaknya yang besar kami sekolahkan, sementara yang kecil lahir setelah mereka setahun ikut kami.
Baru-baru ini mereka mudik Lebaran dan hingga kini tidak balik tanpa alasan. Agaknya, keinginan tidak kembali sudah direncanakan. Rumah belakang yang mereka tempati sudah bersih, tidak ada lagi sepotong barang pun milik mereka. Isteri saya sedih dan tersinggung karena merasa sudah memperlakukan mereka dengan baik, namun mereka pergi tanpa pamit. Saya coba menghibur: ”Sudahlah Bu, barang kali mereka ingin hidup lebih nyaman dan lebih baik dibanding ikut kita, dan itu memang hak mereka.” Kami pun akhirnya sepakat untuk melupakan hal itu.
Memang tak enak rasanya ”dipecundangi”. Tetapi, melupakan sesuatu yang menyakitkan rasanya memang perlu agar perasaan kita tidak terus-menerus digerogoti—yang membuat kepala cenat-cenut—dan memandang ke depan tanpa mengingat-ingatnya lagi. Terbukti sekarang, tanpa pembantu rumah tangga, kami bisa membenahi rumah kami. Bahkan lebih rapi dan bersih karena saya, isteri, dan kedua anak kami menjadi lebih rajin mengurus rumah secara bergantian. Menjadi ”pembantu rumah tangga” di rumah sendiri ternyata membuat kami lebih merasa memiliki rumah dan bertanggung jawab terhadapnya.
Dari peristiwa itu, kami belajar untuk tidak membiarkan hati kami terus-menerus merasa sakit. Kami tidak ingin memanjakan perasaan kami. Itu memang sebuah pilihan. Namun, kalau kami masih mendendam, manfaat apa yang kami dapat?
editor: ymindrasmoro
email: inspirasi@satuharapan.com
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...