Boediono: Saya Tidak Perlu Masuk Koran
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - "Anda tidak perlu menjual saya. Sepanjang program kerja berjalan bagus, itu sudah cukup. Saya tidak perlu masuk koran. Mari bekerja bersama membuat Indonesia sejahtera hingga abad mendatang."
Kalimat ini, menurut Mantan Staf Khusus Wapres untuk Bidang Komunikasi dan Media, Yopie Hidayat, datang dari mantan Wakil Presiden Boediono, ketika pertama kali bertemu dengannya dan meminta dirinya membantu dia sebagai stafnya. Keterangan itu ia sampaikan untuk menggambarkan cara kerja Boediono yang low profile dan tidak ingin menarik perhatian media.
Menurut Yopie, selama menjabat sebagai Wapres, Boediono banyak menghasilkan langkah-langkah terobosan. Namun, hal itu luput dari perhatian media dan memang Boediono menginginkan demikian.
"Pendekatan beliau adalah bekerja dengan sabar dan tanpa menimbulkan riak. Diperlukan kesabaran untuk merampungkan reformasi-reformasi fundamental," kata Yopie.
Yopie menceritakan kalimat-kalimat Boediono itu kepada Jeffrey A. Sheehan, mantan dekan pada Hubungan Internasional Universitas Wharton yang saat ini sedang menulis buku tentang karier Boediono.
Awal bulan ini, Sheehan yang adalah sahabat dekat Boediono selama duapuluh dua tahun, menuliskan sekelumit proses penulisan buku itu lewat artikel di situs resmi Universitas Wharton, dengan judul The Legacy of Indonesia's Boediono. Buku tentang Boediono itu sendiri, untuk sementara diberi judul There Are No Foreign Lands.
Yopie, mantan Pemred Kontan yang sejak Boediono menjadi Wapres hingga mengakhiri masa jabatan, tetap setia mendampingi, kepada Sheehan banyak memberikan informasi latar belakang yang selama ini tidak terlalu banyak diulas media. Menurut dia, apa yang dilakukan oleh Boediono itu, "Tidak akan Anda temukan di surat kabar."
Salah satu langkah dramatis yang diambil Boediono, menurut Yopie, adalah kebijakan moratorium penerimaan PNS yang ia perintahkan harus diimplementasikan dalam 18 bulan. Perintah itu datang dari Boediono sebagai ketua Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional, komite yang memfokuskan diri pada reformasi birokrasi daerah.
"Dengan gestur yang dramatis, ia memerintahkan penghentian penerimaan PNS dalam 18 bulan. Dan Boediono adalah jenis orang yang sangat tegas ketika sudah mengambil keputusan. Dia tidak menyerah pada tekanan politik maupun media. Semua penerimaan PNS sepanjang masa moratorium itu, harus mendapat persetujuan langsung dari Wapres secara pribadi."
Setelah Komisi tersebut bekerja, kata Yopie, struktur birokrasi daerah berubah. Sekarang, kata dia, dalam struktur tersebut sudah ada deskripsi tugas, akuntabilitas dan tanggung jawab, transparansi dan upaya-upaya perbaikan untuk mengurangi korupsi serta meningkatkan kinerja.
Semua ini, kata Yopie, dilakukan Boediono tanpa menimbulkan heboh. "Anda tidak membaca ini di surat kabar dan dia tidak banyak mendapat pujian atas reformasi besar ini."
Sheehan juga mewawancarai Farid Harianto, sahabat Boediono yang lain yang juga sama-sama lulusan Universitas Wharton seperti Boediono. Farid, mantan Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang adalah penasihat informal Boediono dan dikenal banyak mempengaruhi kebijakannya, memiliki komentar yang mirip dengan Yopie.
"Wapres Boediono memusatkan perhatian pada hal-hal jangka panjang dan ia selalu frustrasi dengan perhatian media yang hanya berfokus pada tujuan jangka pendek, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi kwartalan," kata Farid.
"Beliau ingin menggunakan masa jabatannya di kantor Wapres membantu memperkuat nilai-nilai dan membangun institusi yang akan mendukung pemerataan, kemakmuran, kesinambungan dan persatuan bangsa hingga ratusan tahun ke depan."
Di bagian lain tulisannya, Sheehan memuat komentar Yopie tentang warisan lain Boediono yang sangat penting bahkan yang paling penting yaitu membawa Indonesia menjadi sebuah negara demokrasi modern.
Menurut Yopie, Boediono telah meletakkan infrastruktur bagi pemerataan dan stabilitas ekonomi jangka panjang. Ia memimpin Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), lembaga yang untuk pertama kalinya menciptakan sistem jaminan sosial nasional yang didasarkan pada data yang dapat diandalkan.
"Tujuan Boediono adalah membuat sebuah sistem yang didukung oleh data sehingga tidak bisa dimanipulasi secara politik dan dia berhasil," kata Yopie.
Dalam proses penulisan buku tersebut, Sheehan juga mewawancarai Boediono secara langsung dalam beberapa kesempatan. Sayangnya tidak satu kalimat pun dari tulisan Sheehan menyinggung mengenai kasus Bank Century, walaupun kaitan antara Boediono dan kasus Century menjadi pusat perhatian publik dewasa ini.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...