Buku Baru Boediono Beberkan Prinsipnya: Sabar, Sareh, Seleh
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Mantan Wakil Presiden, Boediono, yang akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian media setelah simpang siur berita mengenai statusnya dalam kasus Bank Century, membeberkan tiga prinsip hidupnya, dalam sebuah buku yang akan terbit dalam waktu dekat: There Are No Foreign Lands.
Buku tersebut ditulis oleh Jeffrey A. Sheehan dari Sheehan Advisory LLC, yang juga mantan dekan Hubungan Internasional Universitas Wharton, AS, tempat Boediono pernah kuliah. Situs Universitas Wharton lewat sebuah tulisan berjudul The Legacy of Indonesia’s Boediono, pekan ini melansir sebagian dari manuskrip buku yang akan terbit itu. Diantaranya mengungkapkan tiga prinsip hidup Boediono, yaitu Sabar, Sareh, Seleh.
Menurut Sheehan, ia memperoleh informasi tentang tiga prinsip tersebut dari Yopie Hidayat, mantan Pemred Kontan yang menjadi Staf Khusus Wapres bidang Komunikasi dan Hubungan Media. Ketiga prinsip itu kemudian ia tanyakan langsung kepada Boediono, dan menurut Sheehan, Boediono mengakui bahwa itu memang prinsip hidupnya dengan catatan bahwa jangan dirancukan dengan prinsip Soeharto yang dulu juga menggunakan prinsip serupa ketika mengelola pemerintahannya.
Menurut Sheehan, tiga kata yang diambil dari Bahasa Jawa itu mengandung makna yang mendalam dan kaya. Sabar, kata dia, bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris berarti patience. Namun, kata Sheehan, artinya lebih kompleks dari sekadar patience.
Sabar dalam Bahasa Jawa juga mengandung arti untuk tidak mengambil tindakan sampai waktu yang tepat. Ia mempunyai konotasi menghormati ritme hidup di luar diri sendiri dan memahami hubungan diri dengan dunia eksternal.
Prinsip kedua, Sareh, dalam Bahasa Inggris juga diterjemahkan sebagai patience. Namun, lagi-lagi kata ini tidak bermakna sekadar itu. Kata ini lebih mengarah kepada diri sendiri untuk tidak terburu-buru. Usahakan yang terbaik tetapi kendalikan diri secara patut. Intinya adalah berdamai dengan diri sendiri.
Sedangkan Seleh, kata Sheehan, tidak punya kata yang bermakna persis dalam Bahasa Inggris. Namun dalam konteks agama, kata Sheehan, ia bisa diartikan, berserah kepada Allah sesudah melakukan upaya terbaik. Bila dalam pengertian sekuler, maknanya adalah membiarkan proses berjalan setelah kita melakukan yang terbaik. Jangan terlalu kecewa bila kalah, tetapi jangan terlalu gembira bila berhasil. "Kerja keras tetapi tetap berdamai dengan diri sendiri," tulis Sheehan.
Dalam buku yang ditulisnya tersebut, Sheehan banyak menggali pandangan-pandangan Boediono tentang tantangan yang dihadapi Indonesia di era globalisasi, terutama sebagai bangsa yang dihuni oleh beraneka latar belakang suku, agama dan ras.
Ia antara lain mengutip pendirian Boediono yang mengatakan bahwa pengaruh Barat masih akan terus berlangsung bagi pembentukan bangsa Indonesia.
“Indonesia sebagai entitas politik adalah konsep baru di abad 20. Belanda sungguh-sungguh membuat kami bersatu," tutur Boediono.
“Pada 1928 Kongres Pemuda mendeklarasikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ini menjadi pendorong luar biasa bagi gerakan kemerdekaan yang memberi kami koherensi pada saat itu."
Ketika Sheehan bertanya bagaimana pendapat Boediono tentang pengaruh Barat terhadap karakter bangsa Indonesia seiring dengan modernisasi yang berlangsung, apakah Indonesia akan semakin lebih Barat atau justru akan lebih Indonesia.
Boediono menjawab, "Akhir dari pengaruh Barat masih jauh. Budaya dan nilai Barat masih akan terus mempengaruhi Indonesia di masa mendatang."
Warisan Boediono
Di bagian lain bukunya, Sheehan juga mengeksplorasi apa yang ia sebut sebagai warisan Boediono bagi bangsa Indonesia. Sheehan mewawancarai sejumlah tokoh untuk penulisan bukunya ini, diantaranya Yopie Hidayat dan Farid Harianto, sahabat Boediono sesama alumi Wharton.
Pada umumnya mereka menyebut Boediono sebagai tokoh yang low profile, tidak menyenangi sorotan media dan memilih bekerja untuk tujuan-tujuan yang bersifat jangka panjang.
Menjelang akhir masa jabatan Boediono sebagai Wapres, Sheehan sempat bertemu dengan Boediono di kediaman resmi Wapres. Sheehan menanyakan, apa yang menurut Boediono, hasil kerjanya yang paling membantu dan paling memberi manfaat bagi rakyat Indonesia.
Menjawab pertanyaan itu, kata Sheehan, Boediono menggeliat kecil dan kemudian mengaku sulit menjawabnya karena dia tidak terlalu memikirkan hasil. Boediono mengatakan filosofi pribadinya adalah lebih baik terus bergerak kepada tantangan selanjutnya
daripada gembira berlebihan atas keberhasilan atau kecewa tanpa batas atas suatu kegagalan.
Tantangan di masa depan, kata Boediono, sangat banyak."Baru-baru ini, rekan-rekan saya di Kementerian Pendidikan menggulirkan secara nasional kurikulum terpadu untuk SD hingga SMA. Itu semua diajarkan dalam Bahasa Indonesia, yang akan memberikan kontribusi terhadap persatuan nasional. Namun tantangannya sekarang adalah untuk memberikan pendidikan berkualitas tinggi untuk semua anak-anak Indonesia. Jika kita ingin persatuan sebagai bangsa, kita harus memperhatikan semua pulau-pulau kita yang berpenghuni, bukan hanya yang besar. "
Di bagian lain, Boediono dikutip berkata, "Sebuah negara harus menetapkan di kompas moral kolektif. Ini sebabnya kami telah menanamkan transmisi nilai-nilai dalam kurikulum sekolah nasional yang baru. Kita harus membuat nilai-nilai ini cocok untuk anak-anak, tetapi mereka harus diberikan awal yang tepat untuk menemukan kompas moral mereka. Ini adalah satu-satunya cara untuk membangun demokrasi partisipatif yang nyata, dan akan memakan waktu bertahun-tahun."
Sayangnya, dalam manuskrip buku ini, tidak ada satu kalimat pun membahas kaitan antara Boediono dan Bank Century, yang saat ini justru menjadi sorotan publik.
Editor : Eben Ezer Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...