Bupati Wonosobo Kritisi Kemenag Soal Kebebasan Beragama
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Bupati Wonosobo, Jawa Tengah, Abdul Kholiq Arif berpendapat bahwa sejak dulu negara ini terlalu otoritatif, semua urusan ingin dipegang negara termasuk agama. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag), yang seharusnya mengayomi masyarakat, justru seringkali mempersulit segala urusan keagamaan, terutama hal perizinan.
“Mosok sembahyang diatur, ngapain! Kalau diatur proses regulasinya, itu baik. Tetapi urusan misalnya bangun masjid, tempat ibadah, pengajian, itu urusan masyarakat, bukan pemerintah,” ungkap pria yang kerap disapa Kholiq itu, dalam kuliah umum ‘Indonesia Tanpa Kebencian’ di Royal Kuningan Hotel, Jakarta Selatan, Selasa (3/6).
“Kementerian Agama kalau bekerjanya seperti itu lebih baik diubah saja namanya menjadi Kementerian Haji dan Wakaf, kan di sana banyak hajinya, lumayan di sana yang belum naik haji bisa naik haji,” tukasnya menambahkan.
Bupati yang sukses menjadikan daerah yang ia pimpin sebagai kabupaten teraman ke-2 se-Indonesia itu berpendapat, bahwa tidak ada yang perlu dilanggar dan tidak ada yang melanggar. Agama tidak cukup hanya justifikasi dan simbol-simbol, tetapi keluhuran budi pekerti dan konsep kemanusiaan, itu yang terpenting.
“Masalah agama sebaiknya sendiri-sendiri saja, kalau memang dia hobinya punya agama yahudi ya biarkan saja. Banyak dari kita yang punya agama dengan luar biasa taatnya, ternyata dia juga seperti tidak beragama,” kata pria yang terpilih menjadi Tokoh Kepala Daerah Pilihan Tempo tahun 2012 itu.
Kemudian ia menceriterakan pengalamannya memimpin Wonosobo dalam memperjuangkan seorang pastor yang ingin merehabilitasi gereja, tapi tidak diberikan izin oleh Kementerian Agama RI.
“Saya tanya ke kantornya (Kemenag), mereka jawab ini harus ada izin baru. Kepada pastor saya bilang, ya sudah selesaikan saja dulu (rehabnya). Gereja itu direhab tanpa bantuan pemerintah, saya bilang kalau ada apa-apa minta bantuan dari saya,” ujar dia.
Terkadang, kita menghadapi kelompok-kelompok yang merasa benar sendiri, seperti dituturkan Kholiq. Dia pun kembali menceritakan pengalamannya, misalnya suatu ketika ia mengancam sebuah sekolah yang tidak pernah melaksanakan upacara bendera, karena menganggap menghormati bendera itu sama denga kafir. Padahal tidak ada satupun di dalam Hadits Al-Qur’an yang mengatakan mengharamkan dan mengkafirkan hormat bendera, karena itu simbol negara.
“Jalan raya itu yang bangun siapa? – Pemerintah Pak. Pemerintah mana Saudi Arabia, Qatar, Irak? – Bukan Pak, pemerintah Indonesia. Anda bayar pajak tidak? – Bayar Pak. Anda bangun sekolah uang dari mana? – Negara Pak, uang APBN. Ya sudah, wong yang bangun fasilitas pemerintah Indonesia, Anda mau dananya, mosok merah putihnya Anda tidak mau, kalau besok masih tidak mau hormat sekolah ini Saya tutup saja,” ujar Kholiq berkelakar, menjelaskan argumennya kepada pihak sekolah yang pernah dihadapinya itu.
Pada akhirnya, kalau pemerintah tidak berupaya melakukan intervensi di dalam setiap sisi kehidupan masyarakat seperti itu, maka akan banyak separatis berkembang di negara kita, sebagaimana dituturkan bupati yang senantiasa melibatkan preman untuk menjaga keamanan dalam kegiatan keagamaan di Wonosobo itu.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...