Captain America the Winter Soldier: Film bagi yang Dewasa
SATUHARAPAN.COM – Menonton film Captain America, saya terhenyak. Nyawa manusia dihargai begitu murah di sana. Saat menjalankan misi penyelamatan korban dari sebuah kapal yang dibajak di awal cerita, Sang Kapten dengan taktis, gesit, ahli, dan cekatan membunuh semua musuh yang ditemuinya. Memiting, menendang, menusuk, menembak, memukul, meninju, melempar, membabat, sebutlah berbagai cara lain yang dapat dilakukan untuk membunuh manusia. Semuanya dilakukan dengan darah dingin: sambil bercakap-cakap tentang hal remeh-temeh.
Kebrutalan sajian tidak berhenti sampai disini. Di sepanjang adegan penonton disuguhkan berbagai aksi dahsyat kejar-kejaran, tembak-tembakan, kebut-kebutan, bunuh-bunuhan di area publik dimana banyak penduduk tak bersalah terkena dampak mematikan dari perseteruan dua tokoh utama.
Seakan belum cukup, pemirsa diperhadapkan dengan sebuah ide menarik: memusnahkan 20 juta manusia yang ditengarai sedang dan akan menimbulkan kekacauan dunia demi menyelamatkan 7 milyar manusia lainnya. Ide tokoh antagonis ini akhirnya ditentang oleh mereka yang termasuk protagonis termasuk Kapten Amerika. Walau sesungguhnya ia mempunyai integritas yang ambigu.
Jika seseorang terbukti jahat, maka ia harus dan pasti dibasmi habis seakan bukan makhluk bernyawa. Sedangkan bila orang jahat itu pernah menjadi karibnya, maka pertimbangan yang berbeda akan dipakai: kesempatan untuk bertobat harus diberikan walau harus mengorbankan nyawa diri sekalipun. Memang film ini sangat mengedepankan orang yang dianggap penting ketimbang masyarakat umum.
Walau demikian, film ini dikemas dengan amat apik hingga memudarkan sisi sadisnya. Setiap adegan dibuat mumpuni dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Alur cerita yang memukau penuh kejutan. Eksplorasi karakter utama yang cukup hingga menimbulkan simpati dan emosi penonton. Bahkan pemilihan pemain pun mampu menghadirkan cerita dengan nyata.
Yang pasti, film yang berdurasi 136 menit buatan Marvel Studios tahun 2014 ini tidak membuat saya tidur. Saya sungguh terpana melihat kelihaian Scarlett Johansson bertarung dan terpacu berolah raga agar mempunyai definisi otot semantap Chris Evans. Film ini memang dibuat setidaknya untuk remaja (di atas 13 tahun) karena membutuhkan kematangan mental untuk tetap dapat melihat bahwa setiap manusia berharga di mata Tuhan.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...