Cegah Kepunahan Tumbuhan dan Satwa Liar, LIPI Tingkatkan Keragaman Hayati
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sebagai salah satu negara peratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), pengelolaan perdagangan tumbuhan dan satwa liar di Indonesia dilakukan melalui ketentuan konvensi yang dituangkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
“Cara ini dirancang untuk mencegah terjadinya kepunahan jenis tumbuhan atau satwa akibat perdagangan, terutama perdagangan internasional. Selain itu, agar tingkat pemanfaatannya terjaga pada batas yang memastikan kelestarian jenis,” kata Prof Dr Enny Sudarmonowati, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati (IPH) LIPI, di Jakarta pada penggal awal Mei lalu, yang dilansir situs lipi.go.id.
Enny menambahkan, LIPI telah dipercaya sebagai otoritas keilmuan yang berperan memberikan rekomendasi kepada otoritas pengelola dalam implementasi konvensi CITES. Rekomendasi tersebut meliputi penetapan daftar jenis, pembatasan kuota perdagangan, pembatasan pemberian izin, dan lain sebagainya. “Sebagaimana yang disyaratkan dalam peraturan pemerintah, rekomendasi-rekomendasi ini harus berdasarkan data dan informasi ilmiah yang disediakan oleh berbagai pihak, namun diperoleh dengan metode yang diakui oleh otoritas keilmuan,” kata Enny.
Sementara itu, Dr Ir Witjaksono MSc, Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI mengatakan, LIPI juga bertanggung jawab menyampaikan kepada pemangku kepentingan terkait metode-metode yang dapat digunakan dalam pengambilan data, baik untuk pemantauan atau survei populasi habitat alam jenis-jenis yang diperdagangkan, maupun untuk evaluasi produksi di fasilitas penangkaran dan budidaya.
“Selain metode, penting pula bagi para pihak untuk meningkatkan kemampuan identifikasi jenis-jenis produk Tumbuhan Satwa Liar (TSL) yang beredar di dalam maupun luar negeri. Salah satu pihak yang paling berkepentingan terhadap kedua hal ini tentulah petugas di lapangan, yaitu Pengelola Ekosistem Hutan (PEH) yang instansinya terlibat dalam pemberian izin dan pengawasan peredaran TSL,” kata Witjak.
Peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI, Amir Hamidy juga mengatakan, LIPI, berdasarkan hasil riset dapat memberikan masukan tentang status tumbuhan dan satwa liar, terutama terkait perdagangan dan budidaya yang bisa mengancam keberadaannya di alam.
Amir menambahkan, jumlah tumbuhan dan satwa liar penting diketahui, dan dihitung jumlahnya dalam kurun waktu tertentu.
"Pengelola Ekosistem Hutan harus memahami, misalnya bagaimana cara menghitung kodok di alam liar, dan mengidentifikasi jenisnya. Metode ini bisa diajarkan dengan cara yang mudah dipahami oleh masyarakat awam," katanya.
Menurut Amir, peneliti biasanya melihat tren perkembangan satwa liar di alam selama lima tahun terakhir.
“Misalkan kuota perdagangan sebelumnya memperbolehkan sepuluh kodok yang dikomersialkan. Nanti akan dievaluasi lima tahun terakhir, apakah jumlah itu merusak keberadaannya di alam," kata Amir.
Selain itu, LIPI telah menyediakan wahana pengintegrasian data dan informasi keanekaragaman hayati secara nasional, diberi nama Indonesia Biodiversity Information Facility (InaBIF). InaBIF merupakan bagian dari jaringan internasional Global Biodiversity Information Facility (GBIF). (lipi.go.id)
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...