China Tandatangani Konvensi Memerangi Tax Havens
PARIS, SATUHARAPAN.COM – China merupakan negara terakhir anggota G20 yang menandatangani konvensi untuk memerangi penggelapan pajak pada Selasa (27/8). Masalah yang kini dihadapi China yaitu semakin banyaknya perusahaan yang melakukan tax havens untuk menghindari pembayaran tagihan mereka.Tax havens merupakan istilah untuk negara atau teritori yang menjadi tempat berlindung untuk menghindari pembayaran pajak.
China telah menandatangani konvensi multilateral mengenai bantuan administratif timbal balik dalam rangka mengatasi masalah pajaknya. Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan/ Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mengatakan bahwa semua anggota kelompok G20 bekerja dengan tujuan untuk memerangi dan melawan pencucian uang oleh penjahat internasional tersebut.
Dengan adanya perjanjian kerjasama tersebut memungkinkan bahwa otoritas pajak di seluruh dunia bergerak dari perjanjian bilateral menjadi kerjasama mulilateral dengan tujuan pertukaran informasi.
Konvensi ini merupakan rencana OECD sejak KTT G20 di Cannes, Perancis pada tahun 2011 silam. Pada saat itu, para pemimpin ekonomi paling maju di dunia telah sepakat untuk menindak keras terhadap penggunaan tax havens bagi perusahaan.
Keuntungan Negara Tax Havens
OECD mengidentifikasi tiga faktor yang membuat wilayah hukum dapat dikelompokkan menjadi tax havens. Pertama, pajak yang sangat rendah bahkan tidak ada pajak dan menyediakan diri sebagai tempat pelarian bagi warga asing yang menghindari pajak.
Kedua, adanya perlindungan ketat terhadap informasi mengenai nasabah. Dengan perlindungan ini, perusahaan atau individu memiliki keuntungan dengan menyembunyikan data sebenarnya dari otoritas pajak di negara asalnya dan hal itu sah menurut perundang-undang di tax havens. Dan yang terakhir adalah tidak adanya transparansi dalam operasi tax havens ini.
OECD mengatakan bahwa ada beberapa alasan suatu negara atau wilayah ingin menjadi tax havens. Beberapa negara tersebut menyatakan bahwa mereka tidak perlu membebankan pajak terlalu tinggi seperti yang dilakukan negara maju untuk memenuhi target penerimaan negara. Sehingga tax havens menawarkan pajak rendah sebagai penarik bagi konglomerat negara lain untuk datang dan melakukan alih teknologi.
Banyak negara maju yang menyatakan tax havens bertindak tidak adil dengan mengurangi pajak yang seharusnya menjadi hak mereka. Beberapa kelompok juga menyatakan bahwa para pencuci uang tersebut menggunakan tax havens secara masif.
Kerugian Adanya Tax Havens
Menurut keterangan data OECD, di AS 100 miliar dolar AS pendapatan pajak hilang setiap tahunnya karena ada penggelapan pajak. Boston Consulting Group (BCG) memperkirakan ada aliran dana sebesar 7,3 triliun dolar AS ke pusat finansial di luar AS.
British Virgin Island (BVI) yaitu perusahaan yang terdaftar dalam komisi jasa keuangan/financial services commision (FSC) tidak memberikan informasi mengenai pajaknya untuk kepentingan perusahaan dari negara lain. Karena itu, OECD memasukkan BVI ke dalam daftar abu-abu tax havens.
Selama dua tahun sejak konvensi ini diberlakukan, lebih dari 56 negara yang sudah menandatangi konvensi tersebut termasuk negara G20.
Negara tersebut antara lain; Albania, Argentina, Australia, Austria, Azerbajian, Belgia, Belize, Brazil, Kanada, Kolombia, Kosta Rika, Cina, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Georgia, Jerman, Ghana, Yunani, Guatemala, Islandia, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea, Latvia, Lithuania, Luksemburg.
Selanjutnya Malta, Meksiko, Moldova, Maroko, Belanda, Selandia Baru, Nigeria, Norwegia, Polandia, Portugal, Rumania, Rusia, Arab Saudi, Singapura, Republik Slovakia, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Tunisia, Turki, Ukraina, Inggris dan Amerika Serikat. (oedc.org/dw.de)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...