Loading...
EKONOMI
Penulis: Melki Pangaribuan 19:44 WIB | Selasa, 29 Maret 2016

CORE: Pemangkasan APBN akan Hambat Program Pemerintah

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Adhamaski Pangeran dalam acara CORE Media Discussion,"Menakar Alternatif Kebijakan Fiskal, Menahan Perlambatan Ekonomi," di Jakarta, hari Selasa (29/3). (Foto: Melki Pangaribuan)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Adhamaski Pangeran, mengatakan pemangkasan belanja rutin pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dilakukan dengan hati-hati.  

Menurut dia, apabila tidak dilakukan dengan benar maka akan berdampak pada terhambatnya proyek dan program-program Pemerintah.

“Pemotongan belanja rutin pada APBN harus dilakukan dengan hati-hati, karena pasti akan berdampak pada proyek yang baru akan di mulai maupun yang sedang berjalan. Yang pada gilirannya akan berdampak juga pada keterlambatan penyelesaian program Pemerintah,” kata Adhamaski Pangeran dalam acara CORE Media Discussion,"Menakar Alternatif Kebijakan Fiskal, Menahan Perlambatan Ekonomi," di Jakarta, hari Selasa (29/3).

Menurut Adham, panggilan akrabnya, rencana Pemerintah untuk mengajukan APBN-Perubahan 2016, perlu di cermati dengan lebih seksama. Apalagi, pengeluaran Pemerintah di tahun lalu, sudah menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang penting.

“Sayangnya, upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui APBN di tahun ini terganjal oleh berbagai masalah. Seperti lemahnya realisasi pendapatan pajak pada dua bulan pertama 2016 dibandingkan pendapatan pajak selama dua tahun terakhir, penurunan harga komoditas, dan belum membaiknya kondisi perekonomian nasional,” katanya.

Adham mengaku, Pemerintah secara langsung maupun tidak langsung mendorong Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan untuk menurunkan suku bunga. Tapi di saat yang sama Pemerintah juga harus konsisten melakukan kebijakan counter cyclical melalui instrumen fiskal karena perekonomian belum pulih sepenuhnya.

“Bank Indonesia juga perlu mengubah posisi dari semula penjual instrumen kontraktif (SBI, Sertifikat Deposito BI, Fasilitas Simpanan BI) menjadi pembeli instrumen ekspansif (obligasi pemerintah dan atau obligasi perbankan),” katanya.

Belajar dari pengalaman di Eropa, kata Adham, dalam kondisi makro ekonomi yang belum pulih sebelumnya, mengurangi anggaran belanja rasanya bukan jalan yang terbaik. Apalagi dengan performa sektor swasta yang hari ini belum pulih. Meskipun ketahanan fiskal Indonesia dalam jangka pendek berada pada zoma aman.

“Artinya peningkatan belanja masih memungkinkan dan tidak merusak ketahanan fiskal dalam jangka pendek,” katanya.

Sementara itu, lanjut Adham, obligasi pemerintah masih memiliki room for improvement yang besar. Apalagi suku bunga rendah di Eropa dan perbaikan ekonomi di Amerika Serikat, juga sinyal investasi dari Eropa, seharusnya ditangkap lebih cepat oleh pemerintah.

“Pemimpin Belgia, pemimpin Prancis datang untuk investasi di Indonesia ini yang harus kita lihat,” katanya.

Adham mengatakan, defisit anggaran masih diperlukan, terutama untuk mendorong perbaikan ekonomi. Namun demikian, karena defisit dilakukan untuk membangun infrastruktur, maka yang perlu diperhatikan oleh pemerintah ialah pendapatan potensial pajak di masa depan, ketika infrastruktur itu sudah dapat beroperasi.

“Momentum RAPBN 2016 sebaiknya dimanfaatkan oleh DPR dan Pemerintah untuk mendiskusikan kemungkinan melebarnya defisit anggaran dan mengganti sasaran indikator defisit anggaran terhadap PDB dengan indikator yang lebih menggambarkan keadaan sebenarnya,” katanya.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home