COVID-19: Kesempatan Bersetia Kawan
Kreatifitas pun mulai diuji. Kesabaran, ketenangan, kearifan, dan juga ketabahan.
SATUHARAPAN.COM – Malam itu saya terbangun dengan gelisah. Bertanya-tanya dalam hati, ”Bagaimana jika virus itu sampai ke Indonesia? Rasanya tak mungkin. Bagaimana jika sekolah-sekolah diliburkan? Rasanya itu juga tak mungkin.” Namun, ternyata, satu per satu sekolah mulai diliburkan. Beberapa kantor meliburkan sebagian, bahkan seluruh karyawan. Tidak itu saja, tempat wisata pun beberapa mulai ditutup.
Ketika harga saham mulai berjatuhan, harga emas bertahan. Namun sampai satu titik, harga emas pun ikut merosot. Lalu, bagaimana dengan kita?
Membayangkan satu per satu dari kita harus menghadapi kegelisahan. Kita yang harus dirumahkan, kita yang harus merumahkan karyawan. Ketika roda berputar mulai melambat, dan perlahan berhenti. Bagaimana dengan cicilan rumah, uang sekolah anak, uang makan, uang belanja dan sebagainya yang tidak dapat berhenti?
Pagi itu saya mendapat kabar bahwa kegiatan pemahaman alkitab yang saya ikuti pun diliburkan, berlanjut secara online. Kami akan berkomunikasi dalam kelompok dari rumah masing-masing dengan mengunduh satu program. Tidak terbayangkan sebelumnya jika kita akan membahas materi bersama, tanpa bertemu secara fisik. Kemudian menyusul pengumuman kegiatan sekolah minggu di gereja juga diliburkan sementara.
Entah apa yang akan dihentikan lagi esok hari? Kreatifitas pun mulai diuji. Kesabaran, ketenangan, kearifan, dan juga ketabahan.
Di tengah-tengah begitu banyak pesan masuk melalui media sosial tentang virus ini, sehingga berita hoax pun kadang menyaru, saya membaca sebuah pesan yang diforward dalam jejaring sosial tertanda tulisan Goenawan Mohamad, mengenai novel berjudul Sampar, karya Albert Camus, yang dialihbahasakan oleh NH.Dini—”Ketika sampar mulai berjangkit dan makin luas, Rieux dengan tanpa lelah melawannya: meminta pemerintah kota agar menutup Oran agar pes tak menjalar lebih luas….”
Saya pun mencari tahu tentang novel ini yang ternyata membawa penulisnya, Albert Camus, meraih nobel pada 1957. Novel yang ditulisnya pada 1947 ini menggambarkan absurditas dalam sampar yang melanda kota Oran.
Penggalan di bagian akhir tulisan dalam pesan itu menyatakan: ”Dan kemudian pes mereda. Kota kembali pulih pelan-pelan…. Tapi sebuah pengalaman membekas…: lihat, ada yang lebih kuat dari pes. Yang lebih kuat itu adalah kemampuan bersetia-kawan dengan mereka yang jeritnya terdengar dan lukanya nampak….”
Semoga badai ini cepat berlalu, kota kita segera pulih. Dan yang terutama kita dapat bersetia-kawan, saling bertopang sebagai sesama manusia dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Tuhan beserta kita.
Editor : Yoel M Indrasmoro
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...