CSW-58: Jurnalis Perempuan Rentan terhadap Kekerasan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Tergolong women human rights defender (WHRD), jurnalis perempuan rentan terhadap kekerasan sehingga turut menjadi perhatian dalam pertemuan Commission on the Status of the Women ke-58 (CSW-58) di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sejak tanggal 10 hingga 21 Maret 2014.
Komnas Perempuan yang turut hadir dalam CSW-58 itu memaparkan hasil pertemuan tersebut dalam media gathering pada Rabu (16/4) di kantor Komnas Perempuan.
Pada kesempatan itu, Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah menyebutkan tiga resiko yang harus dihadapi jurnalis perempuan pada umumnya.
“Pertama, jurnalis perempuan rentan terhadap kekerasan karena menjadi pemegang rahasia. Kedua, jurnalis perempuan rentan terhadap pelecehan seksual karena pulang malam atau karena berdesakan di dalam angkutan umum. Yang ketiga, kesehatan reproduksi jurnalis perempuan pun rentan karena mobilitas pekerjaan yang tinggi,” Yuni memaparkan.
Yuni mengatakan perlunya suatu studi untuk memaparkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan negara jika kekerasan terhadap perempuan terus terjadi. Ia menyebut negara-negara Skandinavia sebagai contoh yang telah membuat studi tentang biaya yang harus dikeluarkan jika kekerasan terhadap perempuan terus terjadi. Biaya tersebut misalnya mencakup biaya pengacara dan biaya rumah sakit.
“Terkadang kita memang harus membawa hal-hal yang ‘ekonomis’, yang membahas biaya dan untung-rugi agar dapat lebih menarik perhatian,” ungkap Yuni. Namun Yuni menyayangkan jika sampai saat ini belum ada studi semacam itu yang dilakukan Indonesia.
Agreed Conclusion CSW-58
Menyadari tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia, maka negosiasi CSW-58 yang dihadiri oleh 45 negara anggota bersepakat dalam agreed conclusion bahwa pembangunan pasca-MDGs harus berbasis pada kerangka HAM perempuan.
Mengenai hal ini, Yuni mengatakan agreed conclusion tersebut akan menjadi dasar dan arah pembangunan di masing-masing negara anggota.
Oleh karena itu Yuni mengimbau, “masyarakat harus berperan dalam mengontrol pernyataan pemerintah. Dan agreed conclusion yang telah disepakati itu harus menjadi pegangan masyarakat untuk melihat sudah sejauh mana pemerintah menjalankan pernyataannya.”
Selain masyarakat, Yuni turut mengimbau media agar memberi catatan khusus tentang komitmen pemerintah atas isu kekerasan terhadap perempuan.
“Hal ini penting dan serius, karena sesungguhnya pembangunan bukanlah apa-apa jika kekerasan terhadap perempuan masih terus ada,” pungkas Yuni.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Puluhan Anak Muda Musisi Bali Kolaborasi Drum Kolosal
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Puluhan anak muda mulai dari usia 12 tahun bersama musisi senior Bali be...