Cukup Setusuk Saja!
Semoga kita dijauhkan dari segala ketamakan.
SATUHARAPAN.COM – Ini malam terakhir saya dan istri di Yogya. Belasan rasa nasi kucing dipajang rapi di etalase gerobak. Ada nasi jamur pedas, nasi teri, nasi langgi, nasi ati ampela, dan banyak lagi. Tusukan satenya yang berbaris rapi sungguh menusuk hati. Seolah belum cukup, di ujung etalase berkerumun aneka gorengan dan tempe mendoan yang siap memuaskan kerongkongan.
Di tengah nikmatnya the taste of Jogja dan medoknya pengamen Malioboro, tampak berkeliaran dua bocah lelaki sedang asyik mengemis dari tikar lesehan satu ke tikar lainnya. Usianya kira-kira setara anak kelas 2 SD. Keduanya berkaos lusuh. Namun, tak tebersit dalam hati niat memberi recehan, sebab kalau di Jakarta menjadi ”dermawan” sudah dilarang (Perda DKI No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum). Kedua bocah itu pun lewat di depan kami tanpa beroleh apa-apa.
Tak lama kemudian, saya melihat sepasang bocah itu menunggu sebungkus susu murni gratis dari seorang pelayan angkringan. Aksi donasi susu itu pun mendorong saya untuk bertanya kepada istri, ”Yang, bolehkah aku mentraktir mereka makan malam ini?” Ia pun mengangguk tanda setuju. Saya segera menghampiri mereka.
”Dik, kalian berduaan saja?” tanya saya sambil menepuk salah satu pundak mereka.
”Iya, Om,” jawab mereka kompak.
”Mau makan?” tanya saya lebih lanjut.
”Mau, Om!”.
”Yuk, sini Dik, silakan pilih mau makan apa!” Mereka pun segera berlari ke ujung gerobak, tempat di mana bungkusan nasi kucing berkerumun.
Mata Si Bocah yang satu langsung menjelajah, memilih dengan hati-hati, nasi kucing rasa apa yang akan diambilnya. Setelah mengambil sebungkus, ia terdiam dan menatapku.
”Dik, nggak pake lauk? Satenya ambil juga.” Barulah kembali matanya jelalatan menilik tusukan sate-sate yang tergeletak di sana. Sate kulit ayam, itulah yang menjadi pilihannya, hanya setusuk saja.
Selama bocah yang satu memilih, temannya ternyata diam saja. Air mukanya bertanya penuh keraguan, apakah dia juga ditraktir makan angkringan? Setelah aku berkata, ”Ayo Dik, kamu ambil makanan juga,” barulah ia yakin, berani menghampiri gerobak makanan dan mengambil sebungkus nasi kucing, cuma itu saja. ”Makasih Om,” seru mereka seraya berlari mencari lapak kosong di tepi jalan untuk mereka berlesehan.
Dalam hati saya bertanya-tanya, ”Kok mereka cuma makan itu saja? Bukankah sah-sah saja mereka nyomot lauk banyakan, mumpung lagi ada yang bayarin?” Anak-anak ini sungguh membuatku berdecak kagum. Meski menyandang predikat anak jalanan, perilaku mereka amat sopan. Mereka tidak lancang mengambil makanan sebelum benar-benar diizinkan. Kendati mereka lapar, namun mereka tidak lapar mata. Mereka memilih dengan jeli apa yang mereka inginkan, dan hanya satu saja. Walau terbiasa hidup dari sedekah, namun hati mereka jauh dari serakah. Mereka mampu menikmati kesederhanaan, bahkan kejelataan hidup mereka.
Bagaimana dengan kita? Habis makan nasi padang sebungkus, tetapi masih rakus? Sudah kenyang, namun bilang nggak nendang? Dikasih satu mau dua, punya tiga pengen lima? Kita seolah lupa, bahwa di kamus ada sebuah kata: cukup. Kiranya kata ini bisa menolong kita untuk lebih mensyukuri hidup yang dianugerahkan Tuhan, dan menjauhkan kita dari segala ketamakan.
”Cukup setusuk saja, cukup satu bungkus saja.”
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Enam Manfaat Minum Air Putih Usai Bangun Tidur
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Terdapat waktu-waktu tertentu di mana seseorang dianjurkan untuk me...