Damai Itu Jalannya
SATUHARAPAN.COM - Pengadilan Negeri Jakarta Utara menyatakan bahwa sidang perkara yang melibatkan tersangkan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, terkait tuduhan penistaan agama, akan digelar pada pekan depan.
Ini proses yang dinilai banyak pihak cukup cepat, setelah pemeriksaan oleh kepolisian, kasusnya telah diserahkan kepada kejaksaan, dan dalam waktu tidak sampai sepekan berkas perkara diserahkan kepada pengadilan. Bahkan pengadilan pun segera menjadwalkan persidangan.
Proses hukum yang cepat ini diharapkan tidak karena kepentingan politik dan tekanan massa, melainkan proses yang memenuhi prosedur hukum yang berlaku di negeri kita dan sebagai upaya untuk memenuhi rasa keadilan sesuai hukum di negeri ini.
Aksi Damai
Sebelumnya, desakan proses hukum ini didorong oleh aksi demonstrasi yang disebutnya sebagai aksi damai, setidaknya mengacu pada aksi yang terjadi paling akhir (2 Desember) berlangsung tanpa ada kekerasan.
Oleh karena itu, perlu mendapatkan tekanan bahwa damai itu adalah jalan atau cara dalam penyelesaian perkara. Spirit ini seperti diungkapkan oleh tokoh dunia anti kekerasan, Mahatma Gandhi, yang mengatakan: ‘’There is no way to peace. Peace is the way’’ (tidak ada jalan menuju damai. Damai itulah jalan).
Dan jalan damai itu juga mestilah dimaknai sebagai ‘bukan sekadar tidak adanya kekerasan,’ dan juga bukan hanya terkait kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan secara verbal. Akan menjadi ironi, ketika aksi damai tanpa kekerasan fisik bisa dijaga, namun masih terjadi aksi menyebar pernyataan kebencian dan mencaci makin orang atau kelompok lain melalui media sosial.
Jika kita respek pada aksi ‘damai’ yang telah dilakukan itu, semestinya pernyataan-pernyataan kebencian dan yang ‘melukai’ pihak lain, terutama di media sosial, tidak lagi muncul.
Jalan Damai
Jalan damai bukan hanya terwujud melalui absennya kekerasan, tetapi juga membutuhkan suasana yang sehat dalam relasi antar individu dan kelompok dalam masyarakat kita. Relasi itu semestinya diwarnai oleh sikap yang pro eksistensi, yang tidak hanya menghargai keberadaan pihak lain yang berbeda (koeksistensi), tetapi bisa hidup berdampingan dan bekerja sama secara harmonis dalam perbedaan.
Jalan damai seperti ini tentu saja membutuhkan adanya sikap yang juga mencerminkan aspek akomodasi terhadap pihak lain. Saling akomodasi berarti kesediaan meninggalkan sikap-sikap yang cenderung menegasikan pihak lain, hanya karena adanya perbedaan keyakinan, ras, dan pandangan atau ideologi.
Dengan jalan ini, maka relasi di antara warga dan kelompok warga lebih menonjol sebagai kerja sama ketimbang kompetisi. Jikapun ada kompetisi yang mewarnai relasinya, maka hal itupun lebih pada berlomba untuk memberikan kontribusi terbaik bagi kehidupan bersama yang lebih bermartabat.
Relasi yang pro eksistensi ini akan terwujud dengan kualitas komunikasi yang sehat untuk saling memahami di antara warga bangsa. Dalam konteks ini, tampaknya situasi belakangan ini haruslah menyadarkan kita, bangsa Indonesia, bahwa komunikasi antar warga dan kelompok masih diwarnai oleh prasangka.
Komunikasi yang sehat perlu dibangun untuk mengeliminasi prasangka yang berkecenderungan menyebabkan munculnya sekat-sekat dalam masyarakat. Prasangka hanya akan melemahkan bangsa kita, yang pada akhirnya akan melemahkan kita dalam situasi yang serba kompetitif secara global.
Untuk Kepentingan Semua
Jalan damai ini sesungguhnya adalah demi persatuan dan kepentingan semua warga bangsa, terutama ketika menghadapi masalah sosial yang makin kompleks menyangkut kesejahteraan ekonomi, kesehatan dan pendidikan.
Jika kita gagal dalam mengatasi berbagai masalah itu melalui jalan damai, sesungguhnya semua pihak pula yang akan menanggung beban akibatnya. Oleh karena itu, ketika masalah sosial yang kita hadapi makin kompleks dan berat, yang diperlukan adalah persatuan dan kerja sama, bukan justru sikap yang berdampak pada perpecahan bangsa.
Maka sangat disayangkan bahwa di tengah aksi ‘’damai’’ pada 2 Desember disebutkan ada pihak yang berusaha memanfaatkannya untuk tindakan yang melawan negara.
Oleh karena itu, terkait kasus pengadilan terhadap Basuki Tjahaja Purnama, perlulah dijaga cara-cara yang damai dalam mengawal proses hukumnya, sehingga keadilan yang sesungguhnya juga bisa dicapai. Dan keadilan ini didasarkan atas pembuktian secara materiil, dan bukan oleh berbagai bentuk tekanan.
Sebagai negara hukum, Indonesia perlu terus membuktikan dan memperkokoh supremasi hukum yang tidak dapat diintervensi oleh berbagai kepentingan dan tekanan. Sebab, supremasi hukum adalah pondasi bagi bangunan negara Indonesia.
Editor : Sabar Subekti
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...