Data Gender Penting untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ketika Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) merilis Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia) pekan lalu, ada beberapa data yang memicu perdebatan hangat di kalangan akademisi, aktivis dan pengambil kebijakan. Salah satunya adalah data angka kematian ibu di Indonesia.
Menurut data Human Development Index, angka kematian ibu di Indonesia turun dari 359 orang per 100.000 kelahiran menjadi 106 orang per 100.000 kelahiran. Buat sebagian pihak, angka itu menggembirakan karena menunjukkan kemajuan signifikan berbagai program kesehatan. Khususnya, dalam upaya mengurangi angka kematian ibu saat melahirkan, tetapi sebagian lainnya mencurigai data itu tidak akurat.
Hal yang sama terjadi ketika membaca data stunting, kawin anak, atau kekerasan dalam rumah tangga. Data yang akurat masih menjadi masalah krusial, terlebih data akurat yang berbasis gender dan data khusus untuk isu-isu gender dan kelompok marjinal.
“Kita mengalami beberapa kemajuan dalam penyediaan data isu perempuan. Misalnya, saat ini ada data kekerasan terhadap perempuan yang dikeluarkan BPS melalui SPHN 2016, data KDRT, dan data perkawinan anak,” kata Misi Misiyah kepada VOA, Selasa (25/9) malam.
“Namun kita masih menghadapi banyak masalah dalam penyediaan data untuk isu-isu perempuan dan kelompok marjinal,” ujar Misi yang diwawancarai VOA usai melangsungkan “Dialog Publik Gerakan Advokasi Data Responsif Gender dan Inklusif untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs)” di Jakarta.
Lebih jauh Misi mencontohkan tidak adanya data yang pasti tentang sunat perempuan. Ketiadaan data mengenai sunat perempuan mengakibatkan praktik tersebut tidak masuk dalam indikator Rencana Aksi Nasional SDGs sebagaimana indikator yang ditetapkan oleh dunia internasional, kata Misi.
Data Akurat Belum Tersedia
Misi Misiyah, yang mengepalai Institut KAPAL Perempuan, menegaskan pentingnya mengumpulkan dan mengkaji data akurat yang mendalam, terutama data isu-isu gender dan kelompok marjinal, sebagai basis penetapan target, indikator, dan pencapaian SDGs.
Institut KAPAL Perempuan bekerja sama dengan Equal Measures 2030, Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra (LPSDM), dan Kelompok Perempuan Sumber-Sumber Kehidupan (KPS2K).
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau kerap disebut sebagai SDGs sudah diatur dalam Peraturan Presiden No.59/2017 dimana presiden bertindak sebagai ketua dewan pengarah. Dalam peraturan ini, ada 17 target dan 169 indikator yang akan dicapai hingga tahun 2019. Salah satu target yang hendak dicapai adalah menghentikan perkawinan anak.
Pentingnya Data
Tak heran jika dialog publik ini melibatkan berbagai pihak, antara lain staf ahli dari Kantor Staf Presiden, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Badan Pusat Statistik, LSM Sekolah Perempuan, dan LPSDM.
Beberapa pemerintah kabupaten, seperti Lombok Timur dan Gresik, yang memang telah bergerak untuk mengumpulkan dan mengembangkan data responsif gender, juga berpartisipasi dalam dialog publik itu.
Di akhir dialog disepakati bahwa data akurat yang berbasis gender dan kelompok marginal sangat diperlukan untuk mengembangkan gerakan advokasi di lapangan.
“Data kuantitatif yang ada mesti diperkuat dengan data kualitatif rinci sehingga dapat digunakan untuk mengkaji masalah, misalnya masalah perkawinan anak,” ujar Misi. Hal penting yang harus disadari sejak sekarang jika ingin mencapai seluruh target SDGs tahun depan, sebagaimana ditargetkan bersama.
Editor : Melki Pangaribuan
Uskup Suharyo: Semua Agama Ajarkan Kemanusiaan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo mengatakan ap...