Deputi Gubernur BI: RI Sedang Hadapi Tantangan Berat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Hendar, mengakui Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang cukup berat.
Pelemahan nilai tukar rupiah akibat ketidakpastian kenaikan sukubunga The Fed, yang diawali Mei 2013, menurut Hendar, menjadi pemicu utama ketidakstabilan nilai tukar rupiah.
Ia menjelaskan, tekanan ini semakin berat ketika pasar meyakini beberapa faktor fundamental ekonomi Amerika Serikat yang mendukung The Fed untuk memulai normalisasi suku bunga kebijakannya. Namun, hingga kini kenaikan suku bunga tidak kunjung tiba, sementara dampaknya dirasakan semakin berat.
Bahkan, Handar mengatakan, ketidakpastian ini diperkirakan akan terus berlanjut seiring dengan kebijakan Bank Sentral Tiongkok melakukan depresiasi mata uangnya pada 11 Agustus yang lalu.
“Dampak kebijakan Bank Sentral Tiongkok tersebut perlu diwaspadai mengingat tidak hanya berakibat pada nilai tukar rupiah namun juga kemungkinan naiknya impor dari Tiongkok di tengah kinerja ekspor yang masih terpuruk,” ujar Hendar saat pelantikan Kepala Perwakilan BI untuk Eropa dan Afrika di London, Selasa (25/8).
Tantangan Perlambatan Ekonomi di Daerah
Tantangan berikutnya, Hendar mengatakan, adalah perlambatan kinerja ekspor akibat berlanjutnya penurunan harga komoditas primer utama, seperti batubara, CPO, dan minyak bumi.
Bahkan di beberapa provinsi yang perekonomiannya tergantung komoditas, seperti Kalimantan Timur, Aceh,dan Riau mengalami pertumbuhan negatif selama dua triwulan berturut-turut. Selain itu, rendahnya penyerapan fiskal pemerintah, baik pusat maupun daerah, juga menjadi sumber perlambatan dari sisi pengeluaran.
Hendar menjelaskan, perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut kemudian berdampak pada sektor keuangan. Di sisi perbankan, perlambatan pertumbuhan diikuti dengan pertumbuhan kredit yang menurun disertai dengan kecenderungan Non Performing Loan (NPL) yang terus meningkat, terutama di sektor pertambangan dan konstruksi.
Sementara itu, di tengah ketidakpastian di pasar keuangan global, perlambatan pertumbuhan ekonomi juga memicu jatuhnya indeks harga saham dari 5500 pada April 2015 menjadi kisaran 4100 pada awal minggu ini. Kekhawatiran atas perlambatan ekonomi Tiongkok semakin meningkatkan tekanan terhadap pasar modal, ujarnya.
Sejauh ini, menurut Deputi Gubernur BI tersebut, implikasi perlambatan pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat masih belum signifikan. Namun di beberapa daerah penghasil utama batubara, kelapa sawit,dan karet dampaknya mulai dirasakan. Para pengusaha atau petani tidak lagi bergairah dalam mengelola kegiatan usaha pada komoditas tersebut. (Ant)
Editor : Eben E. Siadari
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...