Di Mana Remote Control Kita?
Siapakah pengendali perilaku kita?
SATUHARAPAN.COM – Beberapa bulan lalu, saya dan suami pergi mengendarai sepeda motor menuju suatu tempat di bilangan Solo. Di tengah perjalanan, seorang bapak mendahului kami dan—saya yakin tanpa sengaja—meludah kira-kira satu setengah meter di depan kami. Tanpa kompromi dan masih diselubungi amarah, dalam hitungan detik kami bergegas mengejar orang yang tidak kami kenal tersebut.
Namun, selang beberapa detik sebelum kami bersebelahan dengan motornya, kami pun menepi. Membayangkan nyaris melakukan hal konyol, bahkan kepada orang yang tidak dikenal sekalipun. Kami pun saling bertanya apa yang sebenarnya membuat kami merasa jengkel dan marah. Merasa tersinggung karena ada yang meludah di depan kami? Merasa perlu memberikan ganjaran dengan menegur orang tersebut, atau alasan lain? Apa kepentingan kami sehingga perlu mengejar orang tersebut?
Lalu kami berdua terdiam, dan sepakat untuk memegang kendali remote control kami lagi, kemudian melanjutkan perjalanan. Sambil menatap nanar di sekitar, dalam hati saya termenung. Semesta ini memang memiliki rasa humor yang tinggi. Alih-alih baru saja saya berdiskusi tentang remote control diri, tak lama saya akhirnya dipaksa praktik langsung.
Saya jadi berpikir, mungkin selama ini saya dengan sukarelanya sudah memberikan remote control kepada orang lain. Buktinya, ada yang bersikap kurang sopan, kita kesal. Ada yang melupakan, kita marah. Ada yang memuji di depan, kita bahagia. Padahal setelah memuji di depan, dijelek-jelekkan di belakang, toh kita sudah merasa bangga duluan. Jadi pertanyaannya, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab mengendalikan perasaan dan pikiran kita? Diri sendiri atau orang lain?
Dari peristiwa itu, saya teringat pada renungan ini:
Kalau saya punya uang Rp. 86.400, lalu ada yang mencuri 10 sen dari uang tersebut, apa yang akan saya lakukan? Berusaha mengejar orang itu supaya ia mengembalikannya? Tidak peduli berapa pun uang yang harus saya keluarkan. Sekalipun harus menggunakan atau bahkan menghabiskan Rp. 86.390 sisanya?
Atau membiarkannya pergi dan move on? Ya, let it go dan move on. Sama seperti hidup kita bukan. Ada 86.400 detik dalam satu hari. Jika ada satu orang saja yang menjengkelkan kita selama sepuluh detik, apa lantas kita akan membiarkannya menyita 86.390 detik lainnya? Apa ia pantas untuk mendapatkan porsi waktu dan perhatian kita lebih banyak lagi? Lalu pertanyaan yang lebih penting lagi, apa kita akan merelakan orang itu untuk mengendalikan pikiran dan perasaan kita seterusnya?
Jika semua jawaban adalah tidak, maka sudah layak dan sepantasnya kita menjaga remote kita masing-masing. Kitalah pemeran utama yang bertugas mengendalikan segenap pikiran dan perasaan kita.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
BNPT Siap Dampingi Eks Anggota Jamaah Islamiyah
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Eddy Ha...