Dilarang Pasang Pohon Natal, Guru SMA Bangor Tuai Simpati Publik
BANGOR, AS, SATUHARAPAN.COM - Catherine Gordon, guru Matematika di sebuah SMA negeri di Bangor, Maine, AS, kini dapat bernafas lega. Ia juga tak perlu lagi berurai air mata. Selasa (22/12) sore, ia mendapat kabar diperbolehkan menempatkan kembali pohon Natal berwarna merah jambu di kelas tempat dia mengajar. Sebelumnya, kepala sekolah melarangnya karena pohon Natal dianggap merupakan simbol agama tertentu dan di sekolah umum di AS mengistimewakan agama tertentu tidak diperbolehkan.
Laporan bangordailynews.com mengatakan larangan terhadap pemasangan pohon Natal itu telah menjadi pemberitaan luas di media massa AS. Pelarangan itu menuai kemarahan terhadap sekolah tersebut. Sebaliknya, dukungan melimpah dari murid, orang tua bahkan juga para politisi kepada Catherine Gordon. Ia mendapat banyak simpati dan dinilai sebagai pahlawan bagi tradisi AS.
Simpati kepada Catherine Gordon mengalir deras karena publik mengetahui ia sudah mengajar Matematika di sekolah itu selama 30 tahun dan selalu memasang pohon Natal di ruang kelasnya. Selama ini, akunya, belum pernah ada persoalan terhadap pohon Natal yang dia dekorasi dengan ornamen Hello Kitty itu.
Namun, hari Jumat (18/12) lalu sebuah kejutan tiba. Kepala sekolah melarangnya dan meminta agar pohon Natal disingkirkan dari ruang kelasnya.
Merasa sedih dan tidak bisa menerima, lewat posting di akun Facebooknya, Catherine Gordon menceritakan pelarangan itu. Ia mengatakan pohon Natal yang dia pasang tersebut sama sekali tidak menonjolkan simbol agama tertentu. "Tidak ada salib atau malaikat, hanya Hello Kitties merah muda. Dan murid-murid saya benar-benar menikmatinya," kata dia, sambil berurai air mata.
Pihak sekolah tidak segera menanggapi pemberitaan tersebut secara langsung. Inspektur SMA Bangor, Betsy Webb, dalam pernyataan yang dikirim kepada pers, tidak menjawab secara tegas apa alasan sekolah itu melarang pemasangan pohon Natal.
Dalam pernyataannya, ia mengatakan, bahwa “sejalan dengan standar nasional dan negara, SMA Bangor mendidik siswanya tentang budaya, tradisi dan hari raya melalui kurikulum dalam mata pelajaran Bahasa Inggris, musik, seni, ilmu-ilmu sosial dan bahasa dunia," kata Webb.
Tak ayal, SMA di kota timur laut AS yang berpenduduk sekitar 31 ribu orang tersebut jadi bulan-bulanan di medsos setelah pelarangan itu. Sementara Catherine Gordon menjadi selebriti mendadak karena kasus ini, dan harus melayani banyak permintaan wawancara di berbagai media yang mengetahui nasibnya. Media banyak mengangkat isu tentang pertentangan budaya terhadap pengakuan atas hari raya keagamaan di sekolah umum, karena dipicu pelarangan yang dialami Catherine Gordon..
Catherine Gordon mengatakan ia sangat sedih atas pelarangan itu karena ia telah memasang dekorasi semacam itu puluhan tahun setiap Natal. "Sepanjang hari murid-murid saya memberi saya hadiah kecil - permen, coklat, buku mewarnai Hello Kitty dan bahkan kaus dengan pohon Natal di atasnya," kata dia, pada hari Selasa (22/12) setelah ia mendapat kabar larangan itu dicabut.
"Saya sangat menghargai dukungan mereka dan pesan-pesan yang saya dapatkan dari orang tua mereka," lanjut dia.
Dukungan terhadap Catherine agaknya membuat kepala sekolah SMA Bangor berubah pikiran. Pada hari Selasa sore, Kepala Sekolah, Paul Butler menelepon Catherine Gordon dan mengatakan ia telah mengubah keputusannya.
Butler dan Betsy Webb secara bersama-sama melansir pernyataan tertulis pada hari Selasa sore terkait dengan isu pohon Natal itu.
"Pada Jumat pekan lalu, keprihatinan telah disampaikan kepada saya tentang inkonsistensi dalam pendekatan kami tentang libur keagamaan, yang saya komunikasikan setiap tahun," tulis Butler.
"Saya menghubungi guru (Catherine Gordon), untuk berbicara dan mengklarifikasi kekhawatiran tentang pohon Natal di kelas, dan menawarkan kesempatan untuk bertemu dan mendiskusikan situasi tersebut secara pribadi," kata dia.
Sayangnya, kata dia, percakapan itu tidak terjadi. Namun, ia mengatakan, dirinya juga mencoba meninjau berbagai perspektif atas masalah yang menjadi perhatian luas itu. Dan akhirnya, kata Butler, pohon Natal layak dipasang di lingkungan sekolah.
"Ke depan, saya tetap percaya bahwa bukan saja penting, tetapi juga memungkinkan untuk secara luas membahas dan mengamati tradisi dengan pola pikir yang inklusif dan pertimbangan yang terencana agar yang banyak tidak melemahkan yang kecil - elemen penting dari pendekatan yang seimbang."
Webb dalam pernyataannya mengatakan ia ingin mengklarifikasi harapan SMA Bangor mengenai pendidikan budaya, tradisi dan hari libur.
"Sangat tepat untuk mendidik siswa tentang tradisi dan budaya selama hari raya dan sepanjang tahun sekolah," kata Webb.
"Di sekolah umum, diperbolehkan untuk mengajar siswa tentang agama. Namun, hal ini tidak diperbolehkan untuk merayakan hari besar agama atau praktik agama di sekolah umum. Agama musik, sastra, dan seni dekorasi diperbolehkan untuk memajukan pengetahuan siswa tentang warisan budaya masyarakat. Namun, pelajaran ini tidak boleh mendominasi kegiatan sekolah," kata Webb lagi.
"Sekolah dapat dihiasi untuk menghormati hari raya keagamaan, tetapi sekolah tidak harus mengirim pesan bahwa agama tertentu didukung atau disukai," kata dia.
"Busana dan atau dekorasi sekular, termasuk pohon, tidak dilarang. (Namun) sebuah pendekatan yang seimbang diharapkan. "
Dalam rilisnya Selasa, politisi partai Republik, Bruce Poliquin, memuji Butler atas pembatalan keputusannya.
"Terima kasih kepada Kepala Sekolah Paul Butler untuk melakukan hal yang benar dalam memungkinkan pohon Natal akan ditampilkan di ruang kelas SMA Bangor," kata Poliquin. "Pohon Natal adalah simbol tradisi dan hari raya Amerika. Maka masuk akal bahwa itu disambut dan dirayakan, terutama di ruang kelas."
Menurut Nick Danby, presiden siswa SMA Bangor, kontroversi ini telah menjadi topik diskusi di antara siswa selama dua hari terakhir.
"Banyak orang bangga pada Ibu Catherine Gordon yang memperjuangkan pohon Natal," kata Danby.
"Sejumlah siswa mendukungnya, ada yang menentang. Banyak siswa melihatnya sebagai simbol; agama, tetapi karena sudah menjadi tradisi yang panjang di kelasnya, banyak orang gembira dengan keputusan Butler."
Berdasarkan keputusaan Mahkamah Agung AS, sekolah-sekolah dapat merayakan hari raya keagamaan dan membuat dekorasi sepanjang hal itu dilakukan dalam konteks musim Natal dan komponen religi tidak mendominasi melainkan hanya untuk mewakili satu elemen dari hari raya yang telah memperoleh status sekular di masyarakat kita," kata dia.
Disebutkan bahwa memasang pohon Natal cukup layak. Tetapi simbol-simbol seperti salib tidak disarankan. "salib adalah murni simbol agama yang tidak memiliki status sekular di masyarakat kita, sehingga tidak boleh ditunjukkan di depan publik."
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...