Loading...
INDONESIA
Penulis: Tunggul Tauladan 07:24 WIB | Kamis, 27 Maret 2014

Dinamika di DIY Pasca Pengesahan UU Keistimewaan

Para pembicara diskusi Prospek Keistimewaan Yogyakarta Pasca Pengesahan UU Keistimewaan, dari kiri ke kanan Zainal Anwar, Krisnadi Setyawan, Agung Kurniawan, dan moderator Titok Hariyanto. (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN - Diskursus seputar keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hingga saat ini tetap menjadi pembahasan yang menarik, meskipun Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta telah disahkan pada 30 Agustus 2012 silam.

Sekitar 2 tahun sejak UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY ditetapkan, implementasi dari UU tersebut ternyata menuai berbagai konflik. Dinamika seputar implementasi dari UU No. 13 Tahun 2012 inilah yang menjadi pokok bahasan lahirnya sebuah diskusi pada Rabu (26/3) yang digagas oleh Institute for Research and Empowerment (IRE). 

Diskusi yang digelar di Joglo Winasis (Kantor IRE) yang beralamat di Jalan Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5, Dusun Tegalrejo RT 01/ RW 09, Desa Sariharjo, Kecamatan Nganglik, Kabupaten Sleman, DIY ini mengambil tema “Prospek Keistimewaan Yogyakarta Pasca Pengesahan UU Keistimewaan”.

Diskusi yang digelar mulai pukul 09.00 WIB ini menampilkan tiga pembicara, yaitu Zainal Anwar (Manajer Kluster Tatakelola Pemerintah dan Reformasi Kebijakan-IRE), Krisnadi Setyawan (Sekjen Forum Masyarakat untuk Keistimewaan DIY [Formais DIY]), Agung Kurniawan (budayawan), dan moderator Titok Hariyanto. 

Krisnadi Setyawan membuka diskusi dengan uraiannya seputar kegelisahan dan statement yang sempat booming beberapa waktu lalu, yaitu jargon “Jogja Ora Didol” (Jogja tidak Dijual). Menurut Krisnadi, polemik “Jogja Ora Didol” muncul sebagai wujud kegelisahan masyarakat karena munculnya kapitalisme yang menggurita di Yogyakarta. Parahnya, kapitalisme tersebut muncul justru ketika status keistimewaan Yogyakarta telah mendapat payung hukum, yaitu UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Krisnadi menghubungkan kapitalisme tersebut dengan dana keistimewaan (danais) yang mulai diterima Pemerintah DIY

“Kapitalisme di Yogyakarta membuat danais hanya menguntungkan segelintir pihak, yaitu CV, PT, dan para pemenang tender. Merekalah pihak-pihak yang secara langsung merasakan dampak nyata (keuntungan) dari status keistimewaan Yogyakarta. Di sisi lain, masyarakat yang seharusnya mendapatkan perubahan dengan adanya status keistimewaan, nyaris tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tidak mengalami perubahan dalam kehidupan keseharian,” demikian ulas Krisnadi. 

Pembicara kedua, Zainal Anwar mencermati adanya desain kelembagaan yang belum jelas untuk mengatur status keistimewaan Yogyakarta. Peneliti dari IRE ini menganggap bahwa sebenarnya sistem atau lembaga di Yogyakarta belum siap untuk menghadapi perubahan paska status keistimewaan ditetapkan, yaitu mengucurnya danais. Hasilnya, danais yang sangat besar justru tidak tepat sasaran, bahkan menjadi proyek bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

“Sekarang kita lihat salah satu saja proyek yang menurut saya menggelikan, yaitu adanya proyek pertanian di setiap wilayah. Saya bisa memaklumi jika proyek tersebut diterapkan di kabupaten-kabupaten (Sleman, Gunung Kidul, Bantul, dan Kulon Progo) yang memiliki lahan pertanian dan petani yang berlimpah. Namun ternyata proyek tersebut juga diterapkan di wilayah kota yang bisa dikatakan tidak memiliki lagi lahan pertanian ataupun petani penggarapnya. Dari sinilah sebenarnya implementasi dari danais tersebut seharusnya diterapkan sesuai dengan tipologi daerah masing-masing. Dari satu contoh ini saja, saya menilai bahwa keistimewaan ternyata bukan untuk kesejahteraan tetapi justru untuk ladang kepentingan,” ucap Zainal.

Budayawan sekaligus seniman Agung Kurniawan menyoroti tentang lahirnya status keistimewaan Yogyakarta. Menurut Agung, status keistimewaan tersebut diberikan karena orang-orang Yogyakarta yang memang istimewa, yaitu budaya orang-orang Yogyakarta yang terbuka dan welcome (mau menerima) kedatangan pihak asing.

“Keistimewaan itu bukan dilihat dari sisi budaya karena budaya di seluruh Indonesia memiliki karakteristik masing-masing yang sama-sama istimewa. Budaya di Yogyakarta tidak lebih baik dari budaya di Kalimantan, Papua, dan lain sebagainya. Yang membuat Yogyakarta istimewa adalah orang-orang Yogyakarta itu sendiri yang mau terbuka dan menerima kedatangan orang-orang asing. Inilah yang membut para pendatang merasakan suasana yang nyaman,” ungkap Agung

Modal keterbukaan yang kemudian menjadi budaya ini sebenarnya menjadi kekuatan dari keistimewaan Yogyakarta. Lewat keterbukaan inilah, para pendatang masuk dan merasa nyaman di Yogyakarta. Dari sinilah muncul beragam budaya yang membuat Yogyakarta dikatakan sebagai “Miniatur budaya Indoensia” atau “Indonesia mini”. Mereka berkreasi, menyatu dengan penduduk asli, tinggal, berkeluarga, dan juga merasa memiliki Yogyakarta. 

Ketika ide atau gagasan telah berkreasi menjadi karya, menurut Agung, maka perhatian pemerintah akan hal tersebut dinilai sangat kurang. Pasalnya, kebanyakan para seniman di Yogyakarta memilih jalan mandiri untuk berkreasi karena tidak bisa menggantungkan harapan pada pemerintah.

“Dari sisi seniman, negara atau pemerintah bisa dikatakan tidak ada atau telah mati karena pemerintah tidak mensupport apresiasi dari seniman. Oleh karena itu, kini kita harus berfikir radikal, bahkan berfikir terbalik, yaitu masyarakat harus memberdayakan pemerintah, memperbaiki birokrasi, menjadikan birokrasi sebagai lembaga yang siap menampung keistimewaan. Padahal sebenarnya yang terjadi adalah sebaliknya, pemerintah seharusnya yang berkewajiban untuk memperbaiki masyarakat, namun karena pemerintah dalam hal ini telah absen, maka dibalik saja, masyarakat yang memperbaiki pemerintah (birokrasi),” ucap Agung.

Diskusi yang berlangsung hingga pukul 13.00 WIB ini diwarnai dengan berbagi komentar dari para peserta. Di akhir diskusi, Titok Haryanto selaku moderator mencoba menyimpulkan hasil dari diskusi, yaitu pertama, secara substantif kita belum merasakan keistimewaan, oleh karena itu perlu pelembagaan untuk mengawasi keistimewaan tersebut. Kedua, perlu dilakukan demokrasi warga, yaitu peran serta warga secara aktif untuk mengawal keistimewaan. Ketiga, esensi keistimewaan tidak hanya terpaku pada 51 pasal yang termaktub dalam UU No. 13 Tahun 2012 semata, namun ternyata lebih banyak dari hal itu.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home