Diskriminasi Kelompok Difabel ke PTN, Kemunduran Pendidikan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Made Adi Gunawan dari Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) mengatakan bahwa kebijakan yang menghalangi kelompok difabel untuk bisa mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) adalah bentuk kemunduran dari sistem pendidikan Indonesia.
“Kenapa baru sekarang terjadi persyaratan ini,” kata Made Adi Gunawan.
Menurut dia tahun-tahun sebelumnya tak ada syarat-syarat masuk PTN yang mendiskriminasi kaum difabel.
“Kemendikbud akhir-akhir ini sedang mengkampanyekan pendidikan untuk semua, di kementerian sedang mempromosikan pendidikan inklusif, jadi penyandang disabilitas bisa sekolah di dekat rumahnya tanpa harus sekolah di SLB. Menurut kami mengejutkan di tengah sedang menggalak di tingkat SD, SMP, dan SMA malah terjadi diskriminasi ke perguruan tinggi,” Adi menjelaskan.
Kementerian Pendidikan dan Forum Rektor telah mengeluarkan kebijakan baru yang membatasi kaum difabel masuk perguruan tinggi negeri mengejutkan para penyandang cacat.
Kebijakan tersebut mensyaratkan seorang calon peserta SNPTN 2014 tidak tuna netra, tidak tuna rungu, tidak tuna wicana, tidak tuna daksa, tidak buta warna keseluruhan, dan tidak buta warna keseluruhan maupun sebagian.
Menurut Adi tanpa diberi batasan, kaum difabel sadar akan keterbatasan. Mereka tidak mungkin memilih jurusan yang mereka tak bisa menjalani tanpa fisik tubuh.
“Contoh seorang difabel yang tak mempunyai kedua tangan tak akan mengambil jurusan dokter gigi, karena dia tidak mungkin memeriksa gigi dengan kaki,” kata Adi.
Kebijakan ini menurut Adi menambah daftar diskriminasi pemerintah terhadap kaum disabilitas.
“Kalau kita lihat sekarang ini fasilitas pendidikan belum memadahi, dari mulai gedung, buku, teknologi belum ramah terhadap difabel,” terang Adi.
Adi mengimbau kepada penyandang disabilitas untuk tetap mendaftarkan diri ke perguruan tinggi negeri. Jika memang terjadi pelanggaran bisa melaporkan ke lembaga pengaduan pelayanan publik Ombudsman.
Dukungan Kalangan Pendidik
Bagi kalangan pendidik, persyaratan seperti ini tak pernah muncul pada tahun sebelumnya. Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyanti mengatakan selama ini persyaratan tersebut tak disebutkan secara terang-terangan.
“Hanya ada fakultas tertentu tetapi tidak dilarang,” jelas Retno.
Retno menilai ini upaya diskriminasi. “Menurut kami walaupun mereka mempunyai keterbatasan fisik, tetapi mereka mempunyai intelektual, mereka tidak bisa digagalkan,” kata Retno.
Hal ini menurut Retno bisa berdampak terhadap psikologis anak penyandang disabilitas. Mereka akan menyalahkan diri mereka sendiri yang memiliki kekurangan. Difabel harus disamakan, kita tidak boleh menghadang mereka untuk belajar karena keterbatasan fisik,” ujar Retno.
Menurut Retno langkah ini tidak bisa dibiarkan. FSGI bersama organisasi guru lain di berbagai daerah yang memiliki murid difabel memberikan dukungan kepada mereka. Selain itu mereka juga akan melayangkan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk merubahnya.
“Kami akan membela difabel dan kebijakan itu dihapus, dan pernyataan pejabat seolah mereka tidak bersalah, sebagai pejabat mereka tidak melihat sesuatu dengan jernih, art nya ini muncul di mana pemerintah kita selalu melihat minoritas,” kata Retno.
Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia YAPPIKA Hendrik Rosdinar menilai kebijakan ini melanggar hak azasi manusia, karena pelayanan pendidikan merupakan bagian kebutuhan dasar untuk mengembang diri.
"Pembatasan ini bentuk nyata dari kebijakan yang diskriminasi, padahal pelayanan publik harus non diskrimasi,” kata Hendrik.
Menurut Hendrik pemerintah tak bisa lagi saling melempar bola antara satu dan lainnya terkait kebijakan ini.
“Saya pikir ini blunder Kemdikbud dan Forum Rektor terkait dengan pembiaran, saya pikir tidak ada alasan untuk menghindar karena persyaratan seperti ini melalui proses saringan dan rapat pimpinan,” jelas Hendrik.
Selain melanggar HAM menurut Hendrik kebijakan ini juga melawan hukum. Hal ini karena pemerintah gagal menjalankan kewajiban negara menyediakan hak pendidikan.
“Diakhir 2012 kami survei, kami tanyakan sejumlah terkait penyelenggaraan publik yang diskriminasi 35 persen, ini mengkonfirmasi bahwa survei kami tidak bohong,” kata Hendrik.
Perlakuan sama menurut Hendrik harus diberikan kepada mereka dengan kebutuhan yang berbeda.
“Itu yang kemudian penyelenggara negara belum memliki paradigma yang utuh tidak hanya administratif tetapi lebih kepada hak manusia jika ini dibiarkan tidak hanya menyerang kepada kelompok disabilitas tetapi yang lainnya,” tutup Hendrik. (portalkbr.com)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...