Diskusi Buku: Money Politics Tak Sekadar Uang
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Pemilu Legislatif 2014 (Pileg 2014) meninggalkan sejumlah catatan negatif, salah satunya adalah maraknya praktek money politics (politik uang). Menurut penelitian, sebagian besar calon legislatif (caleg) kala itu mempraktikkan pola tersebut untuk menjaring suara. Tak hanya berbentuk cash money, praktik politik uang juga menggunakan banyak metode, antara lain dengan cara pembelian suara (vote buying) dan pemberian barang kepada orang atau kelompok tertentu (club goods).
Fenomena di atas tersaji lewat diskusi dalam bedah buku bertajuk Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014 pada Rabu (8/4) di Perpustakaan Pusat UGM. Acara yang diselenggarakan oleh Politics and Government Research Center (PolGov) yang bekerjasama dengan Jaringan Politik Pemerintahan (JPP) Fisipol UGM dan Australian National University (ANU) ini menampilkan pembicara Prof. Edward Aspinall (Dosen ANU sekaligus editor buku) serta penanggap Dr. Kuskridho Ambardi (Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UGM).
Dalam diskusi tersebut tersaji fenomena yang jamak terjadi dalam Pileg 2014, yaitu mayoritas para caleg mengandalkan politik patronase dan klientelisme untuk strategi pemenangan. Lewat strategi patronase dan klientelisme inilah praktik politik uang subur tersemai.
“Patronase bersifat memberikan keuntungan materi dari caleg kepada pemilih, baik secara langsung maupun tidak langsung. Praktek patronase ini misalnya dalam metode serangan fajar (pemberian uang sebelum pileg berlangsung), pemberian bingkisan, perbaikan infrastruktur, pekerjaan, kontrak kerja, hingga proyek. Sedangkan praktek klientelisme lebih diartikan sebagai hubungan berdasarkan personalistik langsung antarorang berdasarkan patronase,”demikian disampaikan oleh Prof. Edward Aspinall.
Lebih lanjut, Prof. Edward memaparkan bahwa dalam penelitian tersebut, ditemukan berbagai hal yang menarik. Dari beragam hal tersebut, Prof. Edward mempolarisasikan ke dalam 4 temuan.
“Tingkat patronase Pileg 2014 di Indonesia sangat tinggi, bahkan jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand. Banyak caleg menghadapi dilema dalam penggunaan strategi patronase, yaitu antara penggunaan patronase secara individu, misalnya serangan fajar, atau penggunaan secara kolektif, misalnya perbaikan jalan hingga sumbangan ke sebuah komunitas. Penggunaan modal atau sumberdaya dari negara, seperti penggunaan dana aspirasi yang biasanya digunakan oleh calon dari petahana atau incumbent. Terjadi tumpang tindih dalam hal pola pengorganisasian caleg, yaitu antara tim sukses dengan jaringan sosial, seperti keluarga, etnis, hingga komunitas,” papar Prof. Edward.
Di sisi lain, Dr. Kuskridho Ambardi mencoba memetakan materi buku sekaligus menyampaikan tesis yang ada di benaknya. Menurut Dr. Kuskridho, buku tersebut memetakan penelitian berdasarkan demografi dengan menempatkan tiga variabel, yaitu agama, etnitas, dan kelas.
“Agama, etnitas, dan kelas menjadi variabel demografi yang paling sering disebutkan dalam buku ini. Dari ketiga variabel tersebut sebenarnya masih bisa diperdalam lagi untuk mencari faktor kausalitas,” ujar Dr. Kuskridho.
Lebih lanjut, pria yang juga menjabat sebagai Direktur Lembaga Survei Indonesia (LSI) ini mencoba untuk melihat imbas dari fenomena politik uang ini terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Menurut Dr. Kuskridho, imbas terbesar dari fenomena politik uang adalah suburnya praktek korupsi di Indonesia.
“Imbas paling besar dan kasat mata dari praktek politik uang adalah korupsi. Namun, bagi kualitas demokrasi di Indonesia, imbas praktek uang bisa sangat beragam, mulai dari tata kelola pemerintahan, hingga sisi religiusitas bagi pihak-pihak yang memanfaatkan komunitas sosial keagamaan untuk sarana menyalurkan uang,” kata Dr. Kuskridho.
Sebagai gambaran, buku Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014 ini merupakan hasil penelitian yang melibatkan 50 peneliti dengan menyasar 20 provinsi di Indonesia sebagai obyek penelitian. Proyek yang dikerjakan pada 2013-2014 ini menggunakan teknik wawancara mendalam terhadap para caleg dan tim sukses, observasi langsung pada kegiatan kampanye, hingga penggunaan teknik shadowing (membayangi) para caleg dan tim sukses ketika berinteraksi dengan para pemilih.
Lewat penelitian tersebut dihasilkan tak kurang dari 1.500 hasil wawancara dan ratusan rekaman pembicaraan. Penelitian yang menggunakan metode etnografis untuk membuat studi dekonstruktif ini akhirnya melahirkan buku setebal 570 halaman yang mengupas fenomena politik uang pada Pileg 2014 di Indonesia.
Editor : Eben Ezer Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...