Diskusi Tujuh Perempuan Pejuang Pangan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM South to South Film Festival (STOS) adalah festival film lingkungan yang diadakan setiap dua tahun sekali sejak 2006. Dalam sembilan tahun terakhir, STOS menjadi satu-satunya film festival lingkungan di Indonesia yang mendukung gerakan solidaritas antar warga desa dan kota.
Dalam festival tahun 2014 ini, STOS menggelar diskusi yang bertajuk Tujuh Perempuan Pejuang Pangan yang digelar di Goethe-Institut, Jakarta Pusat, Minggu (16/3).
Tujuh perempuan tersebut membagikan pengalaman mereka dalam hal memberdayakan perempuan dan lingkungan agar menjadi lebih produktif dan lebih mencintai produk asli Indonesia.
Mereka di antaranya adalah Jumiati, seorang nelayan yang berasal dari Deli Serdang; Habibah, seorang nelayan yang berasal dari Marunda Kepu, Suparjiyem seorang petani dari Gunung Kidul, Yogyakarta; Marlina Rambu Meha, seorang petani dari Sumba; Siti Rofiah, seorang petani dari Lembata, NTT; Siti Rahmah seorang petani dari Pangkep, Sulawesi Utara dan Rebecca Ruminatun, seorang petani dari Nabire, Papua.
Jumiati, Deli Serdang
Jumiati bersama kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung membangun benteng Mangrove seluas 12 ha di desa sejak tahun 2005. Lebatnya hutan mangrove diolah oleh kelompok ini menjadi aneka makanan seperti kerupuk, sirup, dodol, teh dan tepung kue.
Kini mereka tidak lagi bergantung kepada toke pemilik perahu. Koperasi simpan pinjam yang mereka kelola bersama dapat membantu perekonomian komunitas nelayan.
Habibah, Marunda Kepu, Jakarta Utara
Habibah dan para nelayan kerang kacho, ontay yang dicungkil dari pasir hitam berlumpur setia malam berhasil menjadi sumber penghasilan saat musim barat. Usaha terasi andalannya berhenti sejak udang rebon semakin langka seiring dengan hilangnya mangrove di Jakarta.
Akhirnya dia mengajak nelayan perempuan untuk mengkreasikan sampah yang melimpah menjadi kerajinan sederhana. Selain sampah, Habibah juga memberdayakan perempuan untuk berkreasi membuat kerajinan yang berasal dari kulit kerang hijau dan kulit kerang lainnya.
Suparjiyem, Gunung Kidul, Yogyakarta
Suparjiyem telah mendedikasikan hidupnya selama 24 tahun untuk mengorganisir perempuan petani untuk memperkuat sistem pangan komunitas. Dia setia menanam dan mengolah beragam umbi menjadi aneka tepung lokal. Saat ini dia masih berjuang untuk mengupayakan lahan percontohan agar makin banyak yang percaya pangan lokal bisa menggerakkan ekonomi lokal.
Marlina Rambu Meha, Sumba Timur
Mama Rambu, begitulah dia biasa dipanggil, telah memberikan perubahan sejak tahun 2000 di desanya, Mbakapitu, Sumba Timur. Dia bertekad bahwa semua anak harus sekolah. Karena mengingat kebanyakan dari perempuan di sana putus sekolah dan buta huruf. Lewat kain tenun bepewarna alami yang diolah sendiri maka perempuan di daerah tersebut menghasilkan uang yang dapat mereka gunakan untuk membiayai sekolah anak-anak mereka.
Dimulai dari pekarangan, kini lumbung-lumbung keluarga tidak lagi kekurangan. Selain membuat pewarna alami, Mama Rambu juga mengajari perempuan untuk bercocok tanam agar gizi keluarga dan anak-anak terpenuhi.
Siti Rofiah, NTT
Hampir berlatar belakang yang sama dengan Mama Rambu, ibu Siti Rofiah juga tergerak untuk memberdayakan perempuan dan lingkungan di desanya, Lewoleba. Awalnya dia kesulitan untuk mengajak para perempuan untuk memanfaatkan lingkungan yang ada. Namun, dengan usahanya yang gigih akhirnya dia berhasil menghimpun para perempuan untuk berkreasi.
Hasilnya, saat ini telah banyak hasil pertanian dari kebun mereka sendiri seperti jagung, juwawut dan padi-padian. Dari hasil tersebut banyak anak-anak yang sudah sekolah hingga ke jenjang S1.
Siti Rahmah, Sulawesi Selatan
Siti Rahmah mengaktivasi lahan tidur yang tercemar air asin menjadi kebun sayur organik yang pada akhirnya bisa menjadi salah satu sumber penghasilan keluarga. Siti Rahmah juga mengajak para perempuan untuk mengolah ikan menjadi makanan ringan.
Rebecca Ruminatun, Nabire, Papua
Berawal dari keinginannya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya setelah suaminya meninggal, Rebecca Ruminatun menggerakkan komunitas di daerahnya untuk mandiri secara pangan dan tidak lagi bergantung kepada beras.
Saat ini, sudah ada 21 perempuan yang bergabung untuk mengupayakan pangan dari kebun sendiri dan sebagian di antara mereka adalah janda. Kebun kelompok yang mereka rawat membuktikan pangan lokal yang telah menghidupi mereka.
Berharap kepada Pemerintah
Dalam diskusi, ketujuh perempuan tersebut sangat berharap pemerintah bisa mendukung kegiatan mereka secara materi dan moril. Salah satunya bahkan bercerita bahwa untuk membuat sertifikasi harus melalui proses yang sulit dan mahal. Dia menyebutkan bahwa sertifikasi untuk merk makanan bisa mencapai Rp 25 juta.
Ada pula di antara mereka yang membutuhkan ketersediaan alat untuk mendukung mereka dalam melakukan pertanian maupun pengolahan hasil laut dan hasil bumi secara maksimal.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...