Dosen dan Guru Myanmar Gabung Aksi Pembangkangan Sipil
YANGON, SATUHARAPAN.COM-Guru dan dosen di Myanmar pada hari Jumat (5/2) menjadi kelompok terbaru yang bergabung dalam kampanye pembangkangan sipil dengan beberapa dosen menolak untuk bekerja atau bekerja sama dengan pihak berwenang sebagai protes terhadap perebutan kekuasaan oleh militer.
Kampanye pembangkangan sipil dimulai di antara pekerja medis, segera setelah kudeta pada hari Senin (1/2), tetapi sejak itu menyebar ke kalangan pelajar, kelompok pemuda dan beberapa pekerja di sektor negara dan swasta.
Mengenakan pita merah dan memegang tanda protes, puluhan dosen dan guru berkumpul di depan gedung kampus Universitas Pendidikan Yangon. “Kami tidak ingin kudeta militer yang secara tidak sah merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih kami,” kata dosen Nwe Thazin Hlaing.
“Kami tidak lagi akan bekerja dengan mereka. Kami ingin kudeta militer gagal,” tambahnya, dikelilingi oleh staf lain yang mengangkat hormat dengan tiga jari, yang sekarang digunakan oleh banyak pengunjuk rasa di Myanmar.
Salut tiga jari mengarah ke atas dengan telapak tangan menjauhi tubuh berasal dari film “Hunger Games”, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, hal itu telah diadopsi oleh para pengunjuk rasa yang menentang pemerintahan otoriter di Asia.
Salah satu staf memperkirakan 200 dari 246 staf di universitas bergabung dalam protes itu. “Kami bertujuan untuk menghentikan sistem administrasi. Kami sekarang melakukan aksi mogok damai,” kata dosen lainnya, Honey Lwin.
Protes dan Kelompok Lain
Ada juga laporan tentang protes serupa di Universitas Dagon di Yangon.
Penentangan di antara kelompok profesional seperti dokter dan guru muncul karena ada protes yang kurang formal lainnya termasuk oleh orang-orang yang memukul kaleng dan panci dan membunyikan klakson mobil untuk menandakan penentangan mereka terhadap kudeta.
Beberapa lusin pengunjuk rasa anti kudeta juga berbaris pada hari Jumat di kota Dawei, diikuti oleh para pendukung dengan sepeda motor, rekaman video menunjukkan aksi itu. “Kami menyatakan bahwa kami memulai perjuangan kami untuk demokrasi hari ini di Dawei. Kami mendesak orang-orang untuk bergabung dan berdiri bersama kami,” kata seorang pemrotes.
Militer secara langsung memerintah negara di Asia Tenggara itu, yang juga dikenal sebagai Burma, selama hampir 50 tahun setelah kudeta tahun 1962 dan menumpas protes pro demokrasi beberapa kali selama bertahun-tahun. (Reuters)
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...