Loading...
SAINS
Penulis: Prasasta Widiadi 23:06 WIB | Minggu, 08 Desember 2013

Dosen UKI Anjurkan Lampu LED Untuk Penerangan Perumahan

Dosen UKI  Anjurkan Lampu LED Untuk Penerangan Perumahan
Alat yang digunakan Bambang Widodo bersama para mahasiswa UKI, yakni papan dan diisi berbagai jenis lampu penerangan, lampu pijar (paling kanan atas), lampu bohlam (tengah), lampu LED (paling kiri atas), lampu tele (kedua dari bawah), lampu neon (paling bawah). (foto-foto: Prasasta)
Dosen UKI  Anjurkan Lampu LED Untuk Penerangan Perumahan
Bambang Widodo, memeragakan demonstrasi pengukuran intensitas cahaya lampu LED (yang dia pegang) sebagai sumber penerangan modern yang rendah energi.
Dosen UKI  Anjurkan Lampu LED Untuk Penerangan Perumahan
Prof. Dr. Atmonobudi Soebagio.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Bambang Widodo, dosen tetap Program Studi (Prodi) Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Kristen Indonesia (UKI) menganjurkan LED untuk penerangan perumahan.

Bambang Widodo mengatakan ini pada seminar mengenai pandangan gereja dan umat Kristiani terhadap pemanasan lingkungan secara umum (global warming), di Gedung Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Sumber Kasih, Jakarta, Sabtu (7/12).

Lampu LED (light-emitting diode)

Lampu LED (light-emitting diode) atau lampu dioda pemancar cahaya (LED) merupakan produk yang dirakit menjadi sebuah lampu (atau lampu) untuk digunakan dalam perlengkapan pencahayaan.

Lampu LED memiliki umur dan efisiensi listrik yang beberapa kali lebih baik daripada lampu pijar, dan secara signifikan lebih baik daripada lampu neon besar, dengan beberapa chip mampu memancarkan intensitas cahaya lebih dari 100 candela per watt.

Terangnya cahaya lampu LED tidak seperti kebanyakan lampu neon (misalnya tabung dan CFL), kelebihan lampu LED mencapai tingkt pencerahan penuh tanpa perlu waktu pemanasan.

Pada seminar yang bertema Hemat Energi dan Lingkungan Hidup, Gereja Rendah Karbon tersebut, Bambang Widodo hadir sebagai salah satu pembicara dalam seminar yang diselenggarakan GPIB jemaat Sumber Kasih dan bekerja sama dengan Prodi Teknik Elektro UKI tersebut.

Bambang hadir sebagai pembicara bersama dengan dosen Prodi Teknik Elektro lainnya, S.M Doloksaribu, Robinson Purba, dan Atmonobudi Soebagio.

Sebelum Bambang memperagakan pengukuran intensitas cahaya, yang dia rancang bersama-sama dengan mahasiswa Prodi Teknik Elektro UKI, dia mengatakan bahwa sesungguhnya satu hari sebelum seminar, Jumat (6/12) dia mendapat “mandat” (dititipi pesan) saat berjumpa Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (Wamen ESDM), Soesilo Siswo Oetomo, untuk memberi contoh konkrit dan riil efisiensi energi.

Kemudian Bambang dan para mahasiswanya bersepakat memberikan contoh pengukuran cahaya, terhadap berbagai jenis penerangan yang lazimnya dilakukan di perumahan, dan kemudian mereka segera membuat panel pengukuran intensitas cahaya tersebut.

“Sebenarnya untuk menghadirkan perangkat lampu-lampu ini, bukan dari ide saya, jadi kemarin (Jumat, 6/12) saya bersyukur bisa bertemu pak Wamen ESDM (Soesilo Siswo Oetomo) dan dia berbisik-bisik kepada saya tentang contoh nyata hemat energi, jadinya saya dan mahasiswa berpikir untuk membuat peragaan ini,” kata Bambang.

 Papan Panel Peraga Pengukuran Intensitas Cahaya

Panel peraga tersebut dibuat dari papan kayu dengan ketebalan 25 centimeter, dan disusun dalam posisi tegak vertikal, di atas permukaan papan tersebut dilekatkan lima jenis penerangan yang lazim kita kenal di rumah-rumah tangga saat ini, dua lampu neon, lampu pijar, lampu LED, lampu bohlam. 

Di pojok kiri papan kayu berukuran 20 cm x 25 cm tersebut terdapat  sumber listrik guna mendapatkan aliran listrik. Di bawah tiap-tiap lampu, dilengkapi dengan saklar untuk menyalakan dan memutus arus sehingga masing-masing lampu dapat menyala.

Bambang bersama para mahasiswa kemudian melakukan peragaan pengukuran intensitas cahaya tersebut. Setelah diuji  coba satu persatu dari kelima lampu tersebut hasilnya antara lain, lampu neon memiliki intensitas cahaya sebanyak 0,2797 cd (candela, satuan ukuran pengukuran intensitas cahaya), lampu tele sebanyak 0,0032 cd, lampu pijar sebanyak 0,102 cd, lampu bohlam sebanyak berwarna kuning 0,0410 cd, hasil paling tinggi diraih lampu LED dengan 1400 cd.

“Hasilnya terlihat bahwa setelah pengukuran yang kami lakukan dengan Light Meter (alat pengukur cahaya) terlihat bahwa lampu LED memiliki intensitas cahaya paling tinggi, sekaligus paling rendah KWh (Kilo Watt hours),” kata Bambang.

Akan tetapi Bambang menyayangkan harga lampu LED masih belum terjangkau masyarakat saat ini, Bambang menyatakan masyarakat masih banyak menggunakan bohlam dan neon sebagai sumber penerangan di perumahan.

“Harga untuk lampu LED saat ini masih cukup tinggi, kemarin saya lihat satu LED ini 51.000 sementara untuk bohlam, dan pijar berkisar 25.000,” lanjut Bambang.

Hemat Energi

Senada dengan Bambang Widodo yang memberi contoh konkrit tentang lampu yang rendah efisien energi, tetapi cahayanya lebih terang. Maka Atmonobudi Soebagio, salah seorang guru besar Teknik Energi UKI yang hadir sebagai narasumber, mengatakan saat ini di Indonesia perlu digalakkan penggunaan bahan-bahan untuk rumah tangga yang hemat energi seperti yang dicontohkan Bambang Widodo.

“Apabila kita berhemat energi mulai dari lingkungan kamar pribadi hingga keluarga, sampai dengan ke tingkat pergaulan sosial kita maka kita perlahan-lahan mengurangi global warming (pemanasan global),” kata Atmonobudi.

Atmonobudi mengatakan penyebutan istilah pemanasan global yang berkaitan dengan perubahan iklim adalah salah kaprah, saat ini yang terjadi karena kondisi di lapangan, bukan hanya pemanasan global yang berimbas kepada perubahan iklim.

“Saat ini tidak pantas kalau para pemimpin dunia menyerukan untuk ‘sedia payung sebelum hujan’ sebagai imbas perubahan iklim, karena menurut saya istilah perubahan iklim tidak tepat, lebih tepat kita katakan ke-tidakteratur-an iklim,” kata Atmonobudi.

Atmonobudi dalam paparanya mengatakan iklim selalu berubah seiring dengan perubahan musim dan cuaca, yang saat ini sulit dapat diprediksi.

Keadaan tidak dapat memprediksi itulah yang menyebabkan saat ini terjadi ke-tidakteratur-an iklim sehingga manusia sulit untuk memperoleh air bersih, produksi pangan, kesehatan, lingkungan, dan yang paling fatal yakni menyempitnya daratan karena naiknya permukaan air laut. 

“Kalau kesulitan-kesulitan itu terus terjadi maka sulit untuk mendapatkan energi yang makin habis di dunia ini, untuk itu seharusnya kami menyerukan lewat gereja agar menggunakan gaya hidup tidak boros energi, seperti yang tadi diperagakan pak Bambang,” tutup Atmonobudi.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home