DPR Akan Batasi Praktik Prostitusi Lewat Revisi KUHP
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Bisnis dunia prostitusi seakan diminati oleh sebagian kalangan. Dalam dua bulan terakhir, pihak kepolisian sukses membongkar bisnis prostitusi online dan artis-artis ternama. Hal ini tentunya memperlihatkan peminat prostitusi berasal dari seluruh elemen masyarakat, mulai kelas bawah hingga kelas atas.
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menyampaikan salah satu upaya pencegahan bisnis prostitusi di Indonesia dapat dilakukan lewat revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yakni dengan peluasan konsep zina untuk menjerat pelaku pelacuran dan prostitusi.
"Dalam KUHP saat ini, pengertian zina dibatasi pada persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan yang salah satu atau keduanya terikat dalam perkawinan (selingkuh, Red), kemudian istri atau suami salah satu dari pelaku mengadu kepada polisi," kata Arsul Sani saat dihubungi, Senin (11/5).
“Jadi, bila pelaku perzinahan itu tidak dalam status perkawinan, baik sebagai perjaka, duda, gadis dan janda, maka secara hukum pidana saat ini tidak dianggap sebagai zina, ,” dia menambahkan.
Arsul mengakui, saat ini persoalan zina masih merupakan delik aduan, di mana KUHP mengatur pengadu hanya bisa dilakukan oleh suami atau istri yang menjadi korban. Menurut dia, setelah direvisi nanti, pihak pengadu bisa juga dari pihak ketiga yang merasa tercamar.
"Jadi bisa saja anggota keluarga atau bahkan jika perzinahan itu mengakibatkan tercemarnya sebuah perusahaan atau lingkungan, maka pimpinan perusahaan atau RT/RW setempat bisa menjadi pengadu," ujar dia.
Politisi PPP itu juga menjelaskan revisi KUHP nantinya akan memperluas cakupan mengenai zina tersebut, sebab sekarang Pasal 484 Ayat 1 KUHP hanya bisa dikenakan pada masyarakat yang terikat dalam perkawinan saja. “Nantinya akan mencakup perzinahan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan,” ujar dia.
Arsul mengakui konsep pencegahan zina baru tersebut memang tidak lantas menghentikan bisnis prostitusi di Tanah Air. Namun, setidaknya aturan tersebut bisa membatasi ruang gerak praktik prostitusi. “Karena bukan keluarga atau istri dan suami yang terlibat saja bisa mengadu, tetapi Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) sekitar sebagai pihak ketiga yang merasa lingkungannya tercemar bisa ikut melaporkan,” kata dia.
Lebih jauh, Arsul mengatakan revisi KUHP juga mengancam pidana penjara selama satu tahun bagi pasangan ‘kumpul kebo’. Sementara mereka yang biasa menjajakan diri di pusat perbelanjaan atau tempat-tempat umum terancam denda yang cukup tinggi.
"Ini diatur di Pasal 489 RUU KUHP. Begitu prostitusinya terjadi, maka bisa dijatuhi pidana penjara," tutur politisi PPP itu.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...